Paling tidak, orangtuanya tahu dengan siapa dia berpacaran. Juga, pacarnya juga tahu kalau relasi itu bukanlah sesuatu yang disembunyikan. Ketika dibuka di publik, dia pun bisa merasa enggan untuk merusak kepercayaan orang banyak. Â
Menyembunyikan pacar dari orangtua kerap kali mengandung resiko tertentu. Pada tempat pertama, seorang anak menjadi tidak jujur kepada orangtua. Misalnya, dikira pergi keluar bersama teman-teman untuk melakukan kegiatan bermanfaat, ternyata malah pergi dengan pacarnya ke tempat lain.
Ketidakjujuran ini bisa berujung pada hal-hal negatif lainnya. Karena sudah merasa aman bersembunyi di balik ketidakjujuran kepada orangtua, perbuatan-perbuatan negatif lain pun seolah menjadi nyaman untuk dilakukan. Persoalannya, ketika perbuatan-perbuatan itu berujung pada persoalan baru, misalnya, kehamilan di luar nikah.
Untuk konteks berpacaran harus membutuhkan pemahaman dua belah pihak. Orangtua dan anak-anak. Tentu saja, seorang anak mau terbuka kalau orangtua juga membuka diri pada realitas yang terjadi pada anak. Namun, ketika orangtua bereaksi secara keras dan cenderung menolak, pada saat itu pula anak akan merasa kecewa.
Prinsipnya, mulai dari orangtua yang berperan sebagai guru di rumah. Setiap masa, selalu dibumbui dengan tingkah laku anak yang berbeda. Pemahaman pada perubahan tingkah laku ini bisa membuka pikiran orangtua untuk menerima hal-hal baru yang terjadi pada anak mereka. Termasuk, ketika anak mereka memperkenalkan pacar mereka kepada orangtua.
Soal perasaan sangat sulit untuk dikontrol. Hal seperti ini harus dipahami dengan baik agar perasaan anak yang sementara bertumbuh dalam relasi tidak dilukai oleh reaksi keras dari orangtua. Keterbukaan orangtua bisa saja membantu anak untuk mengolah rasa sukanya kepada lawan jenis, termasuk relasi berpacaran yagn sementara dibangun.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H