Sangat sulit untuk menemukan makanan yang bisa menyetarakan selera semua orang dalam satu komunitas. Satu jenis makanan bisa saja disukai oleh sebagian besar orang, tetapi tidak disenangi oleh beberapa orang. Begitu pun sebaliknya.
Karenanya, kerap kali sulit untuk menyediakan makanan yang bisa memuaskan selera dan pilihan pribadi dari sekelompok orang. Jalan tengahnya adalah menyediakan makanan yang biasanya dihidangkan secara umum tanpa peduli pada selera dari orang lain. Paling tidak, faktor kebiasaan itu membuat seorang untuk tidak memaksakan selera, namun berupaya untuk berdamai dengan situasi.
Selera makanan sering kali bergantung pada konteks tertentu. Ada konteks yang sangat spesifik untuk jenis makanan tertentu, dan konteks lain yang menilai jenis makanan seperti itu sebagai hal yang aneh dan tak masuk akal.
Pernah kami beberapa orang Indonesia memasak sayur dari daun singkong di Filipina. Daun singkong itu pun dicampur dengan daun pepaya. Sayur ini sudah biasa dihidangkan di Pulau Flores. Saya kira jenis sayur ini juga terjadi di beberapa tempat di Indonesia.
Ketika orang Filipina itu melihat hal itu, mereka seolah tidak percaya. Mereka merasa heran dan aneh karena tidak ada dalam pikiran mereka kalau daun singkong dan daun pepaya bisa dijadikan sebagai sayuran. Biasanya hanya ubi kayu diambil dan daunnya dibiarkan begitu saja. Begitu pula dengan pepaya. Hanya buahnya yang diambil.
Mereka merasa makin heran ketika kami begitu lahap menikmati sayuran tersebut. Bahkan ada pula yang bertanya apakah kami tidak akan keracunan atau tidak setelah makan sayur daun singkong. Hal yang sama juga bisa terjadi pada orang-orang Indonesia yang tidak tahu kalau daun singkong dan daun pepaya bisa dijadikan sayur.
Sama halnya juga ketika saya (kami orang Indonesia) melihat salah satu jenis makanan yang biasa mereka sebut Balut. Balut ini adalah telur. Bukan telur biasa.
Telur yang sudah berisi anak ayam di dalamnya. Balut menjadi kekhasan di Filipina. Gampang dijumpai di pelbagai tempat. Kabarnya, telur ini bisa menjadi penambah energi. Tak heran, banyak orang yang mengonsumsinya untuk menambah asupan energi.
Saya juga merasa heran dan aneh ketika orang Filipina bisa mengonsumsi balut. Bahkan tak sedikit orang yang bisa memakan dua butir balut.
Pertama kali memakan balut, saya sendiri hampir muntah. Gara-gara dipaksakan dan membuktikan diri sudah berada di Filipina, mau tidak mau saya harus memakannya.
Barangkali karena faktor pikiran juga pada anak ayam yang berada di dalam telur, gigitan balot yang sudah masuk ke mulut dimuntakan lagi. Tidak biasa. Saya harus butuh waktu untuk berdamai dengan situasi. Karena keadaan, mau tidak mau saya coba untuk memakan balut sebagaimana orang Filipina.
Situasi yang disaksikan oleh beberapa orang Filipina pada makanan asal Indonesia dan kami Indonesia pada makanan Filipina membahasakan kalau soal makanan itu bergantung pada konteks.
Saya yakin kalau saya lahir dan besar di Filipina, pastinya saya terbiasa makan balut. Tidak lagi merasa geli. Terbukti, setelah hampir 9 tahun di Filipina, makan balut bukanlah persoalan walau belum mampu untuk mengonsumsi dua butir untuk waktu yang bersamaan. Paling tidak, saya sudah terbiasa.
Begitu pula jika orang-orang Filipina yang merasa heran dengan kebiasaan kami yang mengolah daun singkong dan daun pepaya menjadi sayuran. Kalau mereka dibesarkan di tempat kami, pastinya mereka juga akan terbiasa dengan sayuran dari daun singkong dan daun pepaya.
Di balik ketidakbiasaan yang berujung rasa heran dan aneh ini, satu hal yang perlu adalah agar kita tidak menganggap rendah orang dari budaya lain karena pola dan menu makan yang dipunyainya.
Misalnya, pandangan seorang yang kerap kali makan roti berderajat lebih tinggi daripada orang yang makan ubi kayu. Pandangan seperti ini sangat keliru. Pasalnya, setiap orang terbentuk di konteks berbeda.
Karena konteks ini, seseorang pun beradaptasi dengan jenis makanannya untuk bertahan hidup. Itu juga merupakan kekhasan sekaligus kekayaan budaya yang perlu dihargai dari latar belakang budaya yang berbeda.
Dengan kata lain, rasa heran dan aneh melihat menu makan yang dimiliki orang dari budaya lain tidak boleh sampai pada pikiran yang keliru mengenai cara hidup orang dari budaya tersebut.
Kekhasan dan kekayaan dari budaya lain itu seyogianya menjadi pelajaran dan pengalaman berharga. Bukan tidak mungkin, dengan itu seseorang bisa belajar dan melakukan hal yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H