Situasi yang disaksikan oleh beberapa orang Filipina pada makanan asal Indonesia dan kami Indonesia pada makanan Filipina membahasakan kalau soal makanan itu bergantung pada konteks.
Saya yakin kalau saya lahir dan besar di Filipina, pastinya saya terbiasa makan balut. Tidak lagi merasa geli. Terbukti, setelah hampir 9 tahun di Filipina, makan balut bukanlah persoalan walau belum mampu untuk mengonsumsi dua butir untuk waktu yang bersamaan. Paling tidak, saya sudah terbiasa.
Begitu pula jika orang-orang Filipina yang merasa heran dengan kebiasaan kami yang mengolah daun singkong dan daun pepaya menjadi sayuran. Kalau mereka dibesarkan di tempat kami, pastinya mereka juga akan terbiasa dengan sayuran dari daun singkong dan daun pepaya.
Di balik ketidakbiasaan yang berujung rasa heran dan aneh ini, satu hal yang perlu adalah agar kita tidak menganggap rendah orang dari budaya lain karena pola dan menu makan yang dipunyainya.
Misalnya, pandangan seorang yang kerap kali makan roti berderajat lebih tinggi daripada orang yang makan ubi kayu. Pandangan seperti ini sangat keliru. Pasalnya, setiap orang terbentuk di konteks berbeda.
Karena konteks ini, seseorang pun beradaptasi dengan jenis makanannya untuk bertahan hidup. Itu juga merupakan kekhasan sekaligus kekayaan budaya yang perlu dihargai dari latar belakang budaya yang berbeda.
Dengan kata lain, rasa heran dan aneh melihat menu makan yang dimiliki orang dari budaya lain tidak boleh sampai pada pikiran yang keliru mengenai cara hidup orang dari budaya tersebut.
Kekhasan dan kekayaan dari budaya lain itu seyogianya menjadi pelajaran dan pengalaman berharga. Bukan tidak mungkin, dengan itu seseorang bisa belajar dan melakukan hal yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H