Kejadian terpilihnya seorang warga negara asing (WNA) asal Amerika Serikat menjadi kepala daerah di salah satu kabupaten di Pilkada memantik pelbagai pikiran. Di balik pelbagai pikiran, satu pertanyaan yang mencuat ke permukaan.
Mengapa WNA itu sampai terpilih?
Sudah jelas-jelas, aturan main adalah yang boleh menjadi pemimpin lewat kontestasi politik seperti Pilkada adalah warga negara Indonesia. Ini adalah sebuah kecolongan besar dari sistem politik tanah air.
Menjadi miris ketika yang bersangkutan malah menjadi pemenang. Pukulan yang sangat besar bagi kandidat-kandidat lokal karena harus kalah dari WNA.
Keterpilihan dalam kontestasi politik bisa disebabkan oleh pelbagai faktor. Faktornya bisa berupa popularitas, program kerja yang ditawarkan, cara meyakinkan masyarakat dalam masa kampanye hingga berbagai macam janji politik yang meyakinkan.
Kendati demikian, memimpin sebuah konteks wilayah dengan pelbagai aspek kehidupan bukanlah perkara gampang. Seseorang pemimpin mesti sudah tahu dan kenal konteks yang akan menjadi wilayah kepemimpinannya. Karena itu, saya melihat tiga hal mendasar seorang WNA sangat sulit untuk memimpin sebuah konteks politik.
Pertama, Pertimbangan Budaya.
Seorang pemimpin mesti mengenal dengan baik konteks budaya yang akan dipimpinnya. Konteks budaya itu menyangkut cara hidup masyarakat. Termasuk di salah satunya adalah perihal berbahasa dan bergaul di antara satu sama lain.
Misalnya, soal berbahasa. Secara umum seorang WNA butuh waktu untuk memakai dan memanfaatkan bahasa Indonesia. Apalagi ketika masyarakat yang dipimpinnya cenderung akrab dengan bahasa daerah. Jadinya, seorang WNA harus berupaya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai media untuk berkomunikasi.
Pada saat seorang WNA gagal menguasai bahasa yang dipakai masyarakat, pada saat itu pula dia bisa mengalami tantangan serius dalam membicarakan dan mewujudkan program kerjanya. Bagaimana pun, program kerja harus dikomunikasikan dengan baik dan jelas.
Barangkali seorang WNA sangat pandai berpolitik, seperti menciptakan kebijakan dan langkah-langkah politik. Namun, kebijakan dan langkah-langkah politik itu akan diterjemakan di dalam konteks budaya tertentu lewat bahasa yang dipakai masyarakat.
Belum lagi ketika WNA harus berhadapan dengan ritus-ritus adat yang barangkali berseberangan jauh dengan kultur dari mana dia berasal. Karena lebih mengandalkan rasio, ritus-ritus adat tidak dipedulikan atau dikesemapingkan. Padahal, adat juga menjadi bagian penting dalam sistem kerja seorang pemimpin.
Lebih jauh, semu kebijakan dan langkah politik seyogianya selaras dengan konteks budaya. Kadang kala ada benturan antara sebuah kebijakan politik dengan konteks budaya. Kalau tidak mendamaikan situasi ini, yang bisa terjadi adalah konflik di antara pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Maka dari itu, seorang pemimpin harus mengenal dengan baik konteks budaya yang dimiliki oleh masyarakat.
Kedua, Pertimbangan Situasi Sosial.
Situasi sosial masyarakat beraneka macam. Ada pelbagai tingkatan sosial yang mesti diketahui.
Seorang pemimpin yang mengenal dengan baik situasi sosial biasanya gampang untuk menelurkan gagasan dan kebijakan politik. Namun, yang tidak mengenal konteks sosial, akan cenderung mengcopy gagasan dari tempat lain dan dipaksakan pada konteks sosial yang dipimpinnya. Jadinya, kebijakan itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Guna mengenal sebuah konteks sosial, seorang pemimpin sudah tinggal lama dengan masyarakat. Paling tidak, konteks sosial itu sudah diperhatikan selama mungkin. Lebih baik lagi ketika pemimpin itu berasal dari konteks yang sama dan sudah menghidupi cara hidup masyarakat.
Namun, kalau hanya datang di sebuah konteks sosial hanya untuk berkampanye politik, akan sangat sulit baginya untuk menelurkan program politik yang selaras dengan kehidupan sosial.
Hal yang sama juga terjadi bagi para pemimpin yang non-WNA yang sudah lama merantau. Pulang kampung hanya karena ingin berkontestasi politik. Tak jarang, karena sudah lama menetap di luar daerah, mereka sudah tidak terlalu mengenal konteks sosial masyarakat.
Malahan, mereka coba memaksakan pengalaman dari tempat di mana mereka merantau untuk diaplikasikan kepada konteks sosial tersebut. Jadinya, masyarakat bisa bingung dengan apa yang ditawarkan.
Namun, kalau seorang pemimpin menawarkan program kerja mulai dari konteks masyarakat, mereka gampang menerima. Toh, mereka sendiri yang mengalami situasi sosial, dan mereka melihat solusi yang ditawarkan cocok dengan situasi sosial mereka.
Kalau seorang WNA sudah mengenal konteks sosial masyarakat dengan baik, dia bisa menerjemahkan pengalaman dari tempat asalnya sesuai dengan konteks sosial tersebut. Akan tetapi, hal ini butuh waktu. Seorang WNA harus sudah tinggal dan hidup menurut cara hidup masyarakat.
Dua pertimbangan ini, hemat saya, menjadi alasan yang membuat WNA sulit menjadi pemimpin. Secara umum, untuk bisa memenuhi pertimbangan ini, seorang WNA pun harus sudah hidup dan tinggal lebih lama bersama masyarakat. Lebih jauh, dia sudah secara utuh menjadi seorang warga negara Indonesia, dan bukan berstatuskan WNA lagi.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H