"Aku sudah lelah," katanya datar.
"Kita tidur. Esok masih banyak pekerjaan yang harus terselesaikan," katanya datar.
"Inikah malam pertama?" pikirku.
Ternyata tak sesuai dengan apa yang kubaca dan kudengar selama ini. Tidak sesuai dengan kenyataan.
"Ya," jawabku sembari menanti kecupan ketiga setelah kecupan pertama di gereja dan di acara resepsi senja ini. Namun, tak ada.
Rupanya lelap begitu bersahabat dengan tubuh kami. Rasa lelah membawa kami pada alam mimpi di malam pertama.
***
Malam pertama yang datar. Rupanya bukan saja malam pertama saja. Malam kedua hingga tiga bulan pernikahan kami. Tampak datar. Sekamar tetapi tak berelasi laiknya suami dan istri.
Beban batin tentu saja menghantuiku. Tak enak hati untuk membicarakan beban batinku itu kepada keluarga maupun teman-temanku. Apalagi usia pernikahan yang masih hijau.
Pastinya mereka juga akan bingung. Bagaimana mungkin aku tidak mengenal dia, suamiku yang kupacari selama dua tahun dengan baik. Mereka pasti bertanya seperti itu.
Aku lebih banyak diam dan membisu. Tidak bertanya banyak mengapa dia seperti itu. Rasa lembutnya lenyap bersama janji kami.