Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Terlarang Budaya dan Keinginan Orangtua

27 November 2020   19:29 Diperbarui: 27 November 2020   19:31 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cinta terlarang. Sumber foto: Medium.com

Sudah tujuh tahun aku berpetualang ke ibukota. Manila. Tepatnya semenjak meraih gelar Sarjana ekonomi.

Manila menjadi tujuanku agar bisa menggenapi impianku sejak bangku SD. Bisa punya pendapatan tetap dan kelak bisa bangun rumah sendiri di kampung.

Namun, impianku itu mengawang bersama waktu. Sebuah toko penjualan kain menjadi tempat aku mempraktikkan ilmu ekonomi yang aku peroleh selama empat tahun di kota provinsi kami.

Tak masalah. Paling tidak, urusan angka di dunia ekonomi tidak berbeda jauh dengan urusan angka di dunia kasir.

Barangkali karena kemampuanku dalam menghitung, pemilik toko menempatkanku di bagian kasir. Bukan yang bekerja untuk memanggil, menggaet dan merayu konsumer agar bisa membeli barang dagangan.  

Tujuh tahun terasa singkat. Namun, itu bukan untuk orangtuaku di kampung di wilayah pegunungan bagian Utara Filipina. Pulang kampung menjadi desakan mereka setahun terakhir. Tujuh tahun terlalu lama bagi seorang gadis menjauh dari kampung halaman.

Tempat asalku masih terbilang sebagai wilayah yang memegang budaya yang sangat kuat. Berbeda sekali dengan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir.

Menurut cerita para orangtua, sewaktu bangsa Spanyol berkuasa, mereka sangat sulit menjejaki wilayah pegunungan. Saat Spanyol berkuasa, mereka juga membawa agama sebagai bagian dari cara mereka berkuasa. Tak heran, budaya di beberapa tempat harus tunduk pada pengaruh agama dari Eropa.

Aku patut bersyukur karena budaya kami tidak lenyap. Manfaatnya tak terkirah. Karena budaya yang sudah terbangun di dalam diri kami sejak kecil, aku bertahan di kota Manila.

Salah satunya, pandangan tak pantang pulang sebelum meraih impian. Filosofi inilah yang mendiami setiap dari kami yang keluar dari kampung halaman.

Namun, kedua orangtuaku mendesakku untuk pulang. Pulang karena usiaku kian mendekat kepala tiga. Tahun depan.

Tidak baik bagi keluargaku kalau aku belum bersuami. Harus bersuami. Keluarga adalah bagian penting dalam relasi budaya kami.

Desakan orangtua untuk pulang membentur pikiranku. Impianku belum tercapai. Masih sangat jauh.

Aku bisa jadi malu dengan orang-orang kampung. Pulang dengan tangan hampa.

Terlebih lagi dengan dua orang temanku. Kami sama-sama menyelesaikan serjana ekonomi. Di sekolah yang sama.

Jalan kami berbeda setelah lulus. Aku memilih Manila sebagai tanah terjanji. Mereka lebih memilih kerja di kantor desa.

Awalnya mereka bekerja sebagai tenaga honor. Sekarang ini, mereka sudah jadi pegawai pemerintah. Bahkan salah satunya sementara membangun rumah tembok.

Selain benturan dengan impianku, ada satu hal yang sulit kujelaskan kepada orangtua di kampung. Relasi terlarang. Paling tidak bagi orang-orang kampung.

Mereka pasti tidak terima dengan jalinan relasiku saat ini. Tidak ada dalam pohon keluarga kami yang melakukan seperti apa yang kujalani saat ini. Pun bagaimana mungkin, satu-satunya anak perempuan mereka terjebak pada relasi seperti itu.

Selain itu adalah aib, aku juga bisa menjadi bahan olokan. Aku masih ingat ketika temanku diolok karena penampilannya seperti laki-laki. Rambut pendek dan tak mau mengenakan rok.

Namanya pun seolah terlupakan. Orang-orang hanya memanggil dan mengenalnya dengan "Tomboy."

Tak kuat dengan olokan, temanku ini pergi ke kota provinsi. Tidak mau pulang ke kampung lagi.

Sementara aku tidak berpakaian seperti si Tomboy sama sekali. Tetap seorang perempuan.

Akan tetapi, hatiku sudah terpenjara pada hatinya. Teman kerjaku sendiri. Seorang perempuan asal bagian Selatan Filipina.

Semuanya berlangsung cepat. Sejak tiga tahun lalu.

Bermula dari luka itu. Aku dikhianati. Setelah kuberikan semua milikku, aku malah ditipu. Ditinggalkan dan dicampakan. Bahkan dipermalukan di media sosial. Sejak saat itu, aku tidak mau jatuh dalam pelukan kaum Adam sekalipun.

Berawal dari kedekatan yang biasa saja. Teman curhat. Hingga kedekatan itu berujung pada relasi hati. Hatiku jatuh pada hatinya. Hingga kami pun memutuskan untuk mengontrak sekamar. Tak lagi terpisah dinding.

Relasi ini malah menjadi beban. Beban yang susah kupikul.

Entah beberapa kali orangtua memintaku pulang. Katanya tahun depan aku sudah masuk 30 tahun. Usia yang tidak baik bagi seorang perempuan sepertiku untuk tidak bersuami. Terlebih lagi, tetangga di kampung kerap bertanya tentang asal suamiku. Terlihat ibu susah menjawab pertanyaan itu.

Akhir-akhir ini suara ibu terlihat putus asa. Ibu mengatakan lebih baik bersuamikan seorang yang tak bersekolah daripada tak bersuami sama sekali.

Keinginan orangtua yang sangat membebaniku. Keinginan yang kian berat ketika kekasihku bertolak dari keinginan mereka.

Sekadar Kisah Fiktif

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun