Tidak baik bagi keluargaku kalau aku belum bersuami. Harus bersuami. Keluarga adalah bagian penting dalam relasi budaya kami.
Desakan orangtua untuk pulang membentur pikiranku. Impianku belum tercapai. Masih sangat jauh.
Aku bisa jadi malu dengan orang-orang kampung. Pulang dengan tangan hampa.
Terlebih lagi dengan dua orang temanku. Kami sama-sama menyelesaikan serjana ekonomi. Di sekolah yang sama.
Jalan kami berbeda setelah lulus. Aku memilih Manila sebagai tanah terjanji. Mereka lebih memilih kerja di kantor desa.
Awalnya mereka bekerja sebagai tenaga honor. Sekarang ini, mereka sudah jadi pegawai pemerintah. Bahkan salah satunya sementara membangun rumah tembok.
Selain benturan dengan impianku, ada satu hal yang sulit kujelaskan kepada orangtua di kampung. Relasi terlarang. Paling tidak bagi orang-orang kampung.
Mereka pasti tidak terima dengan jalinan relasiku saat ini. Tidak ada dalam pohon keluarga kami yang melakukan seperti apa yang kujalani saat ini. Pun bagaimana mungkin, satu-satunya anak perempuan mereka terjebak pada relasi seperti itu.
Selain itu adalah aib, aku juga bisa menjadi bahan olokan. Aku masih ingat ketika temanku diolok karena penampilannya seperti laki-laki. Rambut pendek dan tak mau mengenakan rok.
Namanya pun seolah terlupakan. Orang-orang hanya memanggil dan mengenalnya dengan "Tomboy."
Tak kuat dengan olokan, temanku ini pergi ke kota provinsi. Tidak mau pulang ke kampung lagi.