Senja yang belum lama pergi. Antara pukul enem hingga tujuh malam, dia biasa pulang ke rumah.
Suara mobilnya merapat di parkiran sebelah kanan rumah kami. Doggy dan Nesha ikut menggonggong saat mendengar suara mobilnya.
Entah apa yang merasuki kedua anjing itu setiap mendengar mobilnya tiba di rumah. Sangat sulit dijelaskan. Yang pasti mereka menggonggong karena ikut menyambut kepulangannya.
Karena gonggongan mereka, saya dan Redon, anak kami satu-satunya pun tahu kalau dia sudah pulang. Menariknya, kalau ada mobil lain yang berhenti walau jenis yang sama, Doggy dan Nesha tidak menggonggong. Artinya jelas. Mobil itu bukan mobilnya.
Menarik memang. Doggy dan Nesha seolah menjadi alarm penanda kepulangannya.
Setiap kali Rhedon mendengar gonggongan Doggy dan Nesha, seketika itu pula dia menuju pintu samping rumah kami. Dia tahu kalau ayahnya sudah datang.
Saya hanya mengikuti Rhedon. Menjaganya agar tidak jatuh. Maklum belum setahun dia bisa berjalan.
Benar saja, dia pulang. Dia tersenyum melihat Rhedon berdiri di pintu rumah. Senyuman khas yang sudah kulihat selama 10 tahun terakhir. Semenjak kami pertama kali bertemu hingga kami memilih untuk tinggal bersama. Tak ada yang beda dari senyumannya itu.
Tiba-tiba pikiranku menjadi hambar. Aroma parfum itu kembali menyeruak dari tubuhnya ketika kuangkat Rhedon ke pelukannya. Bukan parfumnya. Saya mengenal dengan baik aroma parfumnya.
Bukan juga parfumku. Parfum yang sangat berbeda. Lebih cocok untuk dipakai oleh diriku.
Bukan kali ini saja saya mencium aroma parfum itu. Kira-kira tujuh bulan terakhir. Aroma parfum itu kerap mengiang pikiranku.