Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jubah Putih yang Tidak Menyucikan

18 November 2020   19:44 Diperbarui: 18 November 2020   19:56 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay.com

Pembicaraan tentang kesuciaan selalu bermuara dari relasi kita dengan Sang Khalik. Setiap agama mempunyai caranya masing-masing dalam mengekspresikan relasi dengan Yang Ilahi.

Meski berbeda ekspresi, tujuannya hampir serupa, yakni Sang Khalik yang berada di luar jangkaun indra manusiawi kita. Juga, ekspresi itu berupaya untuk menunjukkan kebaikan Sang Khalik.   

Relasi itu terbentuk dari dalam hati dan lewat pikiran kita. Hati seyogianya menjadi kediaman Yang Ilahi.

Sebagai akibat, gerak laku, pikiran, dan tutur kata merupakan pancaran dari keberadaan Yang Ilahi yang berdiam di dalam diri kita. Kita menjadi suci karena kita menunjukkan kebaikan Sang Khalik kepada sesama. Konsekuensinya, kita tidak menjadi suci ketika kita menunjukkan kejahatan dan menghendaki keburukan terjadi sesama.  

Barangkali ini terlalu ideal dan sulit untuk dipraktikkan. Selalu butuh latihan khusus dan berlangsung terus menerus. Tidak sekali jadi. Bisa dikatakan menjadi suci merupakan upaya sepanjang hidup di dunia.

Bahkan orang yang sudah akrab dengan pelbagai cara hidup agama dan menjalankan macam-macam formasi spiritual masih berjuang dan sulit untuk menjadikan diri mereka sebagai kediaman final dari Sang Khalik. Selalu ada celah, di mana hati dan pikiran terkontaminasi oleh kejahatan. 

Ini tidak lepas dari kelemahan manusiawi. Kelemahan ini kerap menjadi tantangan yang bisa mempengaruhi kita untuk ikut arus yang salah. Juga, ini bisa menyebabkan hati terpenjara pada hal-hal yang jahat. Karenanya, upaya untuk mengontrol kelemahan diri sama halnya upaya menuju kesucian.

Makanya, diri kita seyogianya terus diperbaharui. Hati dan pikiran kita harus diasupi dengan hal-hal positif. Hemat saya, setiap agama mempunyai pelbagai cara agar melatih hati dan pikiran sebagai sumber kebaikan Sang Ilahi.

Andaikata setiap penganut beragama sungguh-sungguh menjalankan cara-cara keagamaan itu, hemat saya, keharmonisan bukan sekadar wacana dan ideal semata.  

Bertolak lebih jauh, kita juga bisa katakan bahwa pakaian kita hanya faktor tambahan dalam menentukan kesucian. Jubah putih pun demikian. Malah jubah putih akan ternoda kalau hati dan pikiran dipenuhi kebencian. Jubah putih hanya sebagai hiasan ketika hati dan pikiran menghendaki keburukan terjadi pada diri sesama.

Pakaian bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan kesucian seseorang. Pakaian bukanlah standar untuk menilai seseorang itu jahat dan baik. Boleh jadi, orang berpakaian amburadul lebih spiritual daripada yang berpakain agamis.

Bahkan, pakaian yang dikenakan kerap menipu dan mengelabui. Gara-gara pakaian yang dikenakan, orang terperangkap pada pikiran yang salah. Pun, gara-gara pakaian orang bisa merendahkan orang lain.

Pandangan seperti ini seharusnya dibongkar. Apa pun pakaian yang kita kenakan tidak bisa menentukan kesucian diri kita. Itu hanyalah tambahan dari luar.

Kendati demikian, kita perlu sadar bahwa pakaian bisa juga mengekspresikan kualitas hati dan pikiran kita. Asalkan intensi berpakain itu merupakan perwujudan situasi batin.

Misalnya, berpakaian pada tempat dan waktu yang tepat. Tahu memilih model pakaian seperti apa yang cocok untuk konteks sosial dan budaya tertentu.

Tujuannya, agar kita menunjukkan rasa hormat kepada sesama. Rasa hormat ini merupakan ungkapan hati dan pikiran dalam mengakui perbedaan orang lain. Rasa hormat ini pun merupakan ungkapan hati dan pikiran dalam menghargai sesama.

Berpakain pada tempat dan waktu yang tepat seyogianya merupakan ekspresi hati dan pikiran. Bukannya untuk menipu mata dan mengelabui hati dan pikiran sesama. Ekspresi untuk menghormati sesama.

Walau demikian, pakain tetap bukanlah kriteria utama di mana itu menjadikan diri suci. Kita menjadi suci ketika hati dan pikiran kita dipenuhi oleh hal-hal yang berhubungan dengan keilahian-Nya, seperti kasih dan kebaikan.

Hal-hal keilahian ini tercermin lewat cara hidup, entah sebagai seorang pribadi maupun dalam relasi dengan sesama.  Dengan cara hidup itu pula, sesama pun akan melihat dan merasakan keberadaan Sang Ilahi di tengah mereka.

Sekadar Refleksi Pribadi

Salam

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun