Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ayahku Meninggalkan Ibu, Aku Ditinggalkan Suamiku

5 November 2020   20:33 Diperbarui: 5 November 2020   20:36 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini kisah tentang seorang teman. Wanita berusia masih di atas 30 tahun. Sudah beranak 4. Anak yang tertua masih duduk di bangku kelas 6 SD sementara bungsu baru 1 tahun lebih.

Hari itu, saya mengambangi kiosnya. Bayar utang pulsa phone. Biasanya, saya mengirimnya pesan saja kalau malas datang ke kiosnya. Jaraknya cukup jauh dari tempat di mana saya tinggal. 6 km.

Hanya kiosnya yang menjual pulsa di sekitar tempat tinggal saya. Juga, dia cepat membalas permintaan, walau berutang tanpa mengeluh atau menunda permintaan. Jadinya, selama setahun terakhir saya sudah menjadi salah langganan yang mengisi pulsa di kiosnya.

Gara-gara berutang pulsa, saya pun kerap mengambangi kiosnya. Bercerita dengan ibunya, orang-orang yang kebetulan berada di kiosnya, dan anak-anaknya.  

Kiosnya mempunyai warung kecil. Cukup untuk menikmati kopi, makanan, dan minuman ringan. Setelah membayar utang, saya duduk sebentar di kiosnya.

Saya sendiri memanfaatkan kesempatan untuk berlatih berbahasa daerah setempat. Menurut rahasia dari orang yang mahir berbahasa, semakin sering menggunakan bahasa asing secara langsung, semakin lama saya bisa mengerti dan lancar berkomunikasi dengan mereka.

Saya juga kenal baik dengan ibunya. Berbicara sebentar dengan ibunya sebelum dia pergi ke rumah salah satu anaknya. Masih tetangga rumah dengan kios itu. Sementara itu, saya menikmati kopi sambil berbicara tentang situasinya di tengah masa pandemi korona.

Menurutnya, pandemi tidak terlalu berdampak untuknya. Karena apa yang dijualnya di kiosnya hanyalah keperluan sehari-hari. Juga, pemerintah tetap memberikan ijin bagi pemilik kios seperti dirinya untuk pergi berbelanja di kota di waktu lockdown.

Lalu, perbincangan kami tentang anaknya. Tentang sistem modul yang mereka peroleh dari sekolah dan juga perannya sebagai orangtua.

Kebetulan anak yang pertama dan kedua biasanya muncul di sekitar kompleks tempat di mana saya tinggal. Makanya, rupa mereka agak familiar. Mereka tidak tahu jika saya berasal dari negara berbeda. Ya, warna kulit kami hampir serupa. Hanya sering bertemu, jadinya kami kadang berkomunikasi.

Dia bercerita banyak tentang anak-anaknya. Yang bungsu baru berusia satu tahun beberapa bulan lalu. Menurutnya, baru kali itu perayaan ulang tahun anaknya dan satu-satunya anak tanpa kehadiran seorang ayah. Biasanya yang terjadi adalah setiap perayaan usia 1 tahun, itu selalu dirayakan dengan acara yang cukup spesial. Boleh dikatakan meriah.   

Lantas, saya pun bertanya kemana suaminya saat ulang tahun dari anak bungsu mereka itu. Saya hanya tahu jika suaminya bekerja sebagai seorang polisi di ibukota provinsi. Setiap hari pulang ke rumah. Jarak ibukota provinsi dengan rumah mereka hanya 30 km. Juga, kadang saya bercerita dengan suaminya saat saya pergi ke kios tersebut.

Tanpa rasa malu untuk menyembunyikan situasi sulit keluarganya, dia mengatakan bahwa suaminya sudah pindah rumah. Saya hanya berpikir pindah rumah karena tuntutan tugas. Maklum, seorang polisi yang kerap pindah tugas. Ternyata, tidak. Pindah rumah karena mengikuti wanita lain. Bahkan dari relasi dengan wanita lain itu, mereka sudah mempunyai satu orang anak.

Hal itu baru diketahui 4 bulan lalu. Itu pun terjadi di tengah masa pandemi. Makanya, hanya keluarganya yang mengetahui situasinya itu. Tetangga hanya terkejut ketika tubuhnya yang sebelumnya cukup gemuk, tiba-tiba menjadi agak kurus. Beban batin terlalu hebat hingga kondisi fisik ikut menjadi rapuh.

Saya terkejut mendengar kisahnya. Empat orang anaknya masih kecil. Lalu, selama ini pendidikan anak-anaknya ditopang oleh suaminya. Tidak semata-mata dari usaha kiosnya.

Dua orang anaknya masuk sekolah swasta di kota provinsi. Tidak ke sekolah negeri yang hanya berjarak ratusan meter dari rumah mereka. Ini berarti mereka mempunyai kemampuan secara finansial. Akan tetapi, saat suminya pergi situasi bisa berbeda.

Menurutnya, hanya satu kekuatan yang membuatnya tetap bertahan. Ibunya. Ibunya juga ditinggalkan ayahnya yang memilih wanita yang lebih muda.

Menurutnya, walau ibunya ditinggalkan ayahnya, dia tak sekalipun menyerah dalam menghadapi hidupnya. Masih tetap pergi ke gereja sebagaimana mestinya. Tidak terlalu peduli apa kata tetangga.

Tetap terlibat aktif dalam kegiatan berkomunitas. Jadinya, bukan ibunya yang terbebankan, tetapi ayahnya yang kadang datang berkunjung ke rumahnya.

Karena ibunya itu, dia tegar. Untuk sementara ini, dia coba membangun usaha kios sebagai penopang kehidupannya. Juga, dia tetap berharap kalau suaminya tetap mendukung pendidikan anaknya, walau dia sudah mempunyai orang lain. Paling tidak, itu bisa menjadi penghiburan di balik perpisahan mereka.

Saya meninggalkan kios itu setelah mendengar kisahnya hampir sejam. Ternyata, di balik keramahannya, berdiam luka yang cukup perih. Kendati demikian, dia berupaya menjalani hidupnya demi kebaikan dari keempat orang anaknya. Bekas luka sulit dihilangkan, tetapi itu tidak boleh merusak seluruh kehidupannya, termasuk ke-4 anaknya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun