Lantas, saya pun bertanya kemana suaminya saat ulang tahun dari anak bungsu mereka itu. Saya hanya tahu jika suaminya bekerja sebagai seorang polisi di ibukota provinsi. Setiap hari pulang ke rumah. Jarak ibukota provinsi dengan rumah mereka hanya 30 km. Juga, kadang saya bercerita dengan suaminya saat saya pergi ke kios tersebut.
Tanpa rasa malu untuk menyembunyikan situasi sulit keluarganya, dia mengatakan bahwa suaminya sudah pindah rumah. Saya hanya berpikir pindah rumah karena tuntutan tugas. Maklum, seorang polisi yang kerap pindah tugas. Ternyata, tidak. Pindah rumah karena mengikuti wanita lain. Bahkan dari relasi dengan wanita lain itu, mereka sudah mempunyai satu orang anak.
Hal itu baru diketahui 4 bulan lalu. Itu pun terjadi di tengah masa pandemi. Makanya, hanya keluarganya yang mengetahui situasinya itu. Tetangga hanya terkejut ketika tubuhnya yang sebelumnya cukup gemuk, tiba-tiba menjadi agak kurus. Beban batin terlalu hebat hingga kondisi fisik ikut menjadi rapuh.
Saya terkejut mendengar kisahnya. Empat orang anaknya masih kecil. Lalu, selama ini pendidikan anak-anaknya ditopang oleh suaminya. Tidak semata-mata dari usaha kiosnya.
Dua orang anaknya masuk sekolah swasta di kota provinsi. Tidak ke sekolah negeri yang hanya berjarak ratusan meter dari rumah mereka. Ini berarti mereka mempunyai kemampuan secara finansial. Akan tetapi, saat suminya pergi situasi bisa berbeda.
Menurutnya, hanya satu kekuatan yang membuatnya tetap bertahan. Ibunya. Ibunya juga ditinggalkan ayahnya yang memilih wanita yang lebih muda.
Menurutnya, walau ibunya ditinggalkan ayahnya, dia tak sekalipun menyerah dalam menghadapi hidupnya. Masih tetap pergi ke gereja sebagaimana mestinya. Tidak terlalu peduli apa kata tetangga.
Tetap terlibat aktif dalam kegiatan berkomunitas. Jadinya, bukan ibunya yang terbebankan, tetapi ayahnya yang kadang datang berkunjung ke rumahnya.
Karena ibunya itu, dia tegar. Untuk sementara ini, dia coba membangun usaha kios sebagai penopang kehidupannya. Juga, dia tetap berharap kalau suaminya tetap mendukung pendidikan anaknya, walau dia sudah mempunyai orang lain. Paling tidak, itu bisa menjadi penghiburan di balik perpisahan mereka.
Saya meninggalkan kios itu setelah mendengar kisahnya hampir sejam. Ternyata, di balik keramahannya, berdiam luka yang cukup perih. Kendati demikian, dia berupaya menjalani hidupnya demi kebaikan dari keempat orang anaknya. Bekas luka sulit dihilangkan, tetapi itu tidak boleh merusak seluruh kehidupannya, termasuk ke-4 anaknya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H