Sudah lama aku tahu tentang kelakuan suamiku. Namun, aku hanya diam. Diamku lebih karena kedua anak kami. Masih kecil. 4 dan 10 tahun.
Mereka belum mengerti tentang apa yang terjadi. Jadinya, relasi kami sebatas sebagai ayah dan ibu. Rasa suami dan istri sudah terasa hambar walau tetap tinggal serumah.
Lebih sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing. Karena pekerjaan pula, aku sedikitnya menghapus luka yang tertusuk di dalam hatiku. Namun, hanya sementara.
Luka itu tetap hadir. Apalagi ketika kulihat wanita itu. Seorang wanita yang berhasil masuk kehatinya.
Terlebih lagi, wanita itu tak jauh dari mataku. Teman kerjaku sendiri. Sama-sama mengabdi di sekolah yang satu dan sama.
Tak kuduga, wanita yang sudah menjadi temanku itu rela menusukku dari belakang. Makanya, setiap kali aku melihat dirinya, aku seolah ditikam oleh pengkhianatan yang sangat sulit kumaafkan.
Terlebih lagi saat kulihat suamiku dihajar di depan rumah kami. Oleh suaminya.
Tanpa peduli pada kedua anak kami, suami wanita itu memukul suamiku tanpa ampun. Beruntung ada tetangga yang berani datang menghentikan kebringasan suaminya. Kalau tidak, anak-anak kami yang tak berdosa bisa menyaksikan kisah yang bisa terekam di seluruh hidup mereka.
Namun, suaminya pergi dalam ketidakpuasan. Meninggalkan tetes-tetes kecil darah suamiku di halaman rumah dan membekaskan ancaman yang terdengar oleh anak-anak kami. Aku hanya merinding saat mendengar ancamannya.
"Urusan kita belum selesai," katanya sambil pergi menjauh dengan mobil Fortunernya.
Entah apa yang ada di pikirannya. Hingga dia terjebak pada pelukannya. Kukenal dia dengan baik. Seorang yang tidak gampang jatuh hati. Seorang yang sangat sulit jatuh pada bayang-bayang romantis.