Pagi itu, banyak panggilan masuk ke phoneku. Beberapa pesan juga tercatat di phoneku. Pas jam istirahat kerja. 10.00 pagi. Selama jam kerja, kami tidak diperkenankan untuk menggunakan phone.
"Pasti ada yang tidak beres," pikirku dalam hati.
Benar saja. Tertulis pesan di phoneku bahwa ayah masuk rumah sakit yang terletak di provinsi tetangga. Hanya 2 jam perjalanan dari kota, di mana keluarga kami tinggal. Kabarnya, tadi pagi ayah kena serangan jantung. Â
Aku menjadi panik. Roti dan sebotol Coca Cola kulepaskan begitu saja di meja. Aku segera menuju ruang kerja manajer. Hendak minta ijin pulang ke rumah.
Aku belum tiba ruang kerja manajer, sebuah panggilan masuk ke phoneku. Dari adikku, Rivan. Dia bekerja di provinsi, di mana ayah terkena serangan jatung. Makanya, informasi tentang ayah begitu cepat diberitakan.
Aku begitu panik. "Semoga kabar baik," harapanku. Namun, sebelum aku mengatakan "hello," tangisan adikku pecah.
"Ayah sudah pergi," katanya.
Aku membisu. Tanpa berkata banyak, kumatikan panggilan itu. Langsung menuju kamar manajer dan minta ijin pulang.
Tanpa pamit kepada teman-teman sekerja, aku cepat pergi ke tempat parkir. Kulajukan motorku. Langsung meluncur ke rumah keluarga kami yang hanya berjarak sekitar 12 km.
Perjalanan pulang yang cukup berat. Pikiran melayang kepada kisah kasih tentang ayah. Seorang ayah yang bekerja lama di luar provinsi. Hanya pulang kalau mempunyai waktu libur.
Sebagai seorang polisi, ayah tidak bisa sembarangan pulang ke rumah. Tunggu waktu yang tepat. Makanya, aku dan adik-adikku begitu dekat dengan ibu.