Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terjebak Pada Pelukan Terlarang

26 Oktober 2020   20:16 Diperbarui: 26 Oktober 2020   20:31 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah mengapa aku harus bertemu dengannya. Yang pasti kami bertemu di acara pernikahan itu. Pernikahan seorang teman. Pengantin wanita temanku dan pengantin pria rekan kerjanya di kantor.

Kebetulan kami duduk bersebelahan. Dia sendirian. Begitu pun aku. Kami hanya diarahkan oleh pengantar tamu untuk menempati kursi-kursi itu. Sebenarnya, aku tiba agak awal dari dirinya.

Bermula dari kebisuan. Phone tak kuasa mengunci kebisuan kami. Hingga kami pun bertatap mata. 

Dari senyum hingga saling sapa menjadi awal perkenalan di malam itu. Dari perkenalan hingga bertukar cerita. Tentu saja, cerita tentang teman-teman kami yang sementara merayakan acara pernikahan baru mereka. 

Hingga cerita kami pun terbang ke kehidupan kami. Tentang asal dan pekerjaan kami. Tentang perjalanan hidup kami. Tata acara yang begitu panjang seolah menjadi berkah dari perjumpaan kami malam itu.

Lalu, kami pun berpisah bersama berakhirnya acara pernikahan. Tak satu pun dari kami yang memilih untuk tetap tinggal di tempat resepsi. Padahal, beberapa temanku mengajak untuk tetap tinggal di tempat resepsi. Bergoyang dan berdansa.

"Tidak," jawabanku. Alasan pekerjaan membentengi jawabanku malam itu.

Namun, pikiranku tidak lepas dari senyumannya. Aroma parfumnya seperti masih melekat di jasku.

Tanpa pikir panjang, aku coba mencari-cari dirinya di FB. Tidak butuh waktu lama. Kebetulan dia berkomentar di salah satu foto dari teman yang sudah menikah.

"Akh, daripada tinggal dalam kepingan ketidaktenangan lebih baik aku coba meng-add-nya sebagai seorang teman," pikirku di malam yang mulai bergerak larut.

Tidak butuh waktu lama. Hanya beberapa menit. Konfirmasi pertemanan begitu cepat datang. Dia menerima pertemananku.

Aku kian penasaran. Lantas, kusampaikan ucapan terima kasih atas penerimaan pertemananku. Tidak enak langsung serobot dan sok akrab. Apalagi sudah larut malam.

Bukannya menjawab ucapan terima kasihku, dia malah bertanya. "Apakah aku masih di tempat pesta ataukah tidak?"

Pertanyaan ini membuka percakapan kami. Tidak peduli waktu.Tidak peduli situasi. Semakin larut, semakin panjang percakapan kami. Baterei phone menghentikan percakapan kami malam itu. Kami kalah oleh baterei phone yang sudah melemah.  

Sejak malam itu, kami terus bertukar kisah. Keesokan harinya. Sepanjang hari tanpa peduli waktu. Hari demi hari sampai tak terasa sebulan kami bertukar cerita.  Macam-macam kisah menghiasi dinding phone kami. Kisah tentang diriku. Dan, kisah tentang dirinya.

Hingga itu pun berujung pada niat untuk bertemu. Pertemuan kedua setelah acara pernikahan itu. Pertemuan yang penuh debaran. Sangat berbeda dengan pertemuan pertama. Entahlah.

Yang pasti aku pernah mengalaminya. Dulu sekali. Sewaktu masih kelas 2 SMA.

Waktu itu aku diminta temanku untuk bertemu dengan adik kelas yang kutaksir. Jantungku berdebar kencang saat itu. Wibawahku sebagai kakak kelas seolah runtuh. Tidak kuat untuk melangkahkan kaki. Juga, tidak bisa berkata banyak ketika bertemu dengan cewek itu.

Kira-kira begitul juga situasi pertemuanku dengan dirinya. Di sebuah restauran yang jauh dari keramaian. Sengaja kupilih tempat itu agar jauh dari pantauan banyak orang.

Aku berusaha kuat. Memikul rasa yang menggoncangkan dadaku. Berupaya bercerita laiknya seorang pria yang siap menghadapi medan perang.

Rupanya itu bukan pertemuan yang kedua. Itu hanyalah pertemuan dari pertemuan kami. Pertemuan yang membawa kami pada kamar bisu. Hanya aku dengan dirinya.

Pertemuan kami pun seolah melupakan cincin di jari manisnya. Aku sudah tahu sejak perjumpaan pertama. Tidak kutanyakan tentang cincin itu.

Dialah yang mengatakannya setelah kuungkapkan rasaku. Suaminya sementara bekerja di luar negeri. Sudah empat tahun tidak pulang berlibur.

Menurutnya, suaminya terlihat begitu kecewa. Setelah lebih dari 15 tahun berkeluarga, mereka belum dianugerahi buah hati. Makanya, suaminya cenderung fokus bekerja dan seolah tidak peduli lagi relasi mereka.

***

Pagi ini pesan singkat masuk ke phoneku. Dia ingin bertemu. Di tempat yang sama, di mana kami bertemu untuk kedua kalinya setelah pertemuan pertama di acara pernikahan itu.

Mukanya agak pucat. Senyumannya datar. Tidak biasa. 

"Pasti ada sesuatu," pikirku.

"Aku hamil," katanya membuka pembicaraan kami di tempat itu.

Dunia seolah berhenti berputar. Aku shock. Alih-alih ingin memanggil pelayan restauran untuk meminta daftar menu, aku tiba-tiba membisu.

Tiba-tiba, pesan puteri tunggalku sebelum datang ke restauran ini terekam jelas di pikiranku. 

Dia memintaku untuk tidak melupakan acara ulang tahunnya yang ke-10 di panti asuhan. Dia dan ibunya akan lebih dahulu berangkat ke panti asuhan agar bisa menyiapkan segala sesuatunya di sana. 

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun