Aku kian penasaran. Lantas, kusampaikan ucapan terima kasih atas penerimaan pertemananku. Tidak enak langsung serobot dan sok akrab. Apalagi sudah larut malam.
Bukannya menjawab ucapan terima kasihku, dia malah bertanya. "Apakah aku masih di tempat pesta ataukah tidak?"
Pertanyaan ini membuka percakapan kami. Tidak peduli waktu.Tidak peduli situasi. Semakin larut, semakin panjang percakapan kami. Baterei phone menghentikan percakapan kami malam itu. Kami kalah oleh baterei phone yang sudah melemah. Â
Sejak malam itu, kami terus bertukar kisah. Keesokan harinya. Sepanjang hari tanpa peduli waktu. Hari demi hari sampai tak terasa sebulan kami bertukar cerita. Â Macam-macam kisah menghiasi dinding phone kami. Kisah tentang diriku. Dan, kisah tentang dirinya.
Hingga itu pun berujung pada niat untuk bertemu. Pertemuan kedua setelah acara pernikahan itu. Pertemuan yang penuh debaran. Sangat berbeda dengan pertemuan pertama. Entahlah.
Yang pasti aku pernah mengalaminya. Dulu sekali. Sewaktu masih kelas 2 SMA.
Waktu itu aku diminta temanku untuk bertemu dengan adik kelas yang kutaksir. Jantungku berdebar kencang saat itu. Wibawahku sebagai kakak kelas seolah runtuh. Tidak kuat untuk melangkahkan kaki. Juga, tidak bisa berkata banyak ketika bertemu dengan cewek itu.
Kira-kira begitul juga situasi pertemuanku dengan dirinya. Di sebuah restauran yang jauh dari keramaian. Sengaja kupilih tempat itu agar jauh dari pantauan banyak orang.
Aku berusaha kuat. Memikul rasa yang menggoncangkan dadaku. Berupaya bercerita laiknya seorang pria yang siap menghadapi medan perang.
Rupanya itu bukan pertemuan yang kedua. Itu hanyalah pertemuan dari pertemuan kami. Pertemuan yang membawa kami pada kamar bisu. Hanya aku dengan dirinya.
Pertemuan kami pun seolah melupakan cincin di jari manisnya. Aku sudah tahu sejak perjumpaan pertama. Tidak kutanyakan tentang cincin itu.