Pelbagai dinamika politik menghiasi setahun periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakilnya, Maruf Amin. Yang paling tren saat ini adalah pengesahan Undang-undang Cipta Kerja. Pengesahan UU Cipta Kerja di DPR ini dibarengi dengan protes kepada istana.
Di balik pelbagai dinamika politik selama setahun kepemimpinan Jokowi-Maruf, dua hal yang menarik perhatian saya.
Pertama adalah soal kehadiran Gibran, Putera Jokowi di kancah politik tanah air. Gibran pindah haluan dari seorang pebisnis menjadi seorang politikus. Langkah yang serupa pernah diambil oleh Jokowi. Menariknya, mereka ambil haluan politik di pemilihan walikota Solo.
Kemunculan Gibran tidak berhubungan langsung dengan kepemimpinan Jokowi-Maruf pada umumnya. Walau demikian, kemunculan Gibran di tengah keberadaan sang ayah di kursi nomor satu RI memantik diskusi tentang politik dinasti di tanah air. Jokowi menjadi sasaran tembak dari pelbagai kritik tentang politik dinasti.
Ya, diskusi menjadi hangat bila menimbang Jokowi yang sementara berkuasa. Kalau Gibran memenangi kontestasi di pemilihan walikota Solo, ini mungkin pengalaman pertama di Indonesia, dimana ayah adalah seorang presiden dan anak adalah salah seorang walikotanya.
Kemunculan Gibran di dunia politik semakin memperkuat jejak langkah keluarga Jokowi. Gibran terlihat realistis. Dia memulai dunia politik dari level bawah. Tidak langsung naik ke tingkat nasional.
Bisa saja, Gibran langsung terjun di tingkat nasional dengan memanfaatkan status ayahnya. Akan tetapi, Gibran memilih jalan yang terbilang tepat dan strategis untuk seorang politikus pemula.
Paling tidak, langkah awal ini bisa menjadi modal untuk berkiprah pada ranah yang lebih luas dan tinggi. Bukan tidak mungkin, Gibran bisa mengikuti jejak sang ayah apabil berhasil menunjukkan performa yang mumpuni. Â
Dinamika politik kedua adalah niat nyapres dari Giring. Berbeda dengan Gibran, mantan musisi tanah air, Giring yang berasal dari PSI menyatakan niatnya secara terbuka untuk nyapres. Bahkan baliho yang mengungkapkan niatnya itu terpampang di tempat publik.
Pemerintah Jokowi-Maruf belum berusia setahun. Meski demikian, Giring sudah menyatakan niatnya untuk bertarung di kontestasi Pilpres 2024.
Niat untuk menjadi capres tidaklah masalah. Hak setiap warga negara. Barangkali yang akan mengganjal langkah Giring di kontestasi politik adalah kendaraan politik seperti partai politik.
Walau demikian, niat Giring di tahun pertama pemerintahan Jokowi-Maruf menarik untuk dicermati. Ini bisa membahasakan bahwa pemerintahan Jokowi-Maruf belum memberikan harapan yang diingingkan. Maka dari itu, orang ingin segera berbicara tentang pengganti mereka.
Bagaimana pun, pada saat seseorang sudah berniat menggantikan posisi kita andaikata kita adalah pemimpin, seyogianya kita perlu mencermati. Boleh jadi, kita sudah tidak layak dengan posisi tersebut dan orang sudah tidak suka dengan keberadaan kita. Ataukah, orang yang berniat untuk berkuasa hanya mempunyai murni motif untuk berkuasa. Â
Dua dinamika politik ini hanyalah beberapa situasi politik di tahun pertama Jokowi-Maruf. Ini juga  menjadi hiasan kepemimpinan politik mereka.
Kedua realitas ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Malahan, keduanya bisa menjadi kontribusi politik dalam melihat langkah politik 4 tahun kedepan.
Membiarkan anaknya maju dalam kancah politik tanah air bisa secara tidak langsung menunjukkan bahwa Jokowi tidak bermasalah dengan politik dinasti. Dengan ini, beliau juga sementara mempersiapkan anggota keluarganya untuk berpartisipiasi sedinih mungkin agar di saat beliau keluar dari lingkaran kekuasaan, anaknya sudah siap.
Apabila Gibran memenangi kontestasi Pilwalkot Solo, Jokowi pun memiliki sosok yang bisa melanjutkan tren positif keluarga di dunia politik. Hanya saja, Jokowi perlu menjaga jarak di tengah situasi ini. Dalam mana, Jokowi tidak boleh memanfaatkan koneksi keluarga dengan Gibran untuk memuluskan program kerja Gibran di Solo. Â
Agar kesan politik dinasti tidak begitu kental, Jokowi seyogianya membiarkan Gibran bekerja sebagaimana dirinya sendiri di 4 tahun ke depan. Â
Sementara itu, langkah Giring bisa menjadi alarm bagi Jokowi-Maruf bahwa bisa banya pihak yang mengintai kursi kekuasaan di istana. Giring hanyalah satu orang dari beberapa orang. Perbedannya, Giring mengemukan secara terbuka ke ruang publik. Barangkali niat Giring tidak terlalu mengancam situasi pemerintahan.
Namun, bagaimana jika niat yang sama muncul dari dalam anggota kabinet. Ini bisa mempengaruhi stabilitas pemerintahan. Maka dari itu, Jokowi perlu berwaspada pada setiap langkah terselubung dari orang-orang yang berada di sekitarnya.
Dua dinamika di atas hanyalah realitas yang perlu dicermati untuk kepemimpinan Jokowi-Maruf di 4 tahun ke depan. Tentunya, masih banyak situasi di Indonesia yang bisa dijadikan referensi untuk menguatkan kepemimpinan mereka.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H