Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sosok Berjubah Putih di Kamar 111

18 Oktober 2020   22:08 Diperbarui: 18 Oktober 2020   22:24 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: goodreads.com

Awal bulan Mei. Waktu yang dinantikan oleh siswa kelas 3 SMA. Waktunya untuk melakukan kegiatan rekoleksi. 

Saya sendiri juga penasaran dengan kegiatan ini. Setiap kali kakak kelas pulang dari kegiatan ini, mereka membawa pelbagai kisah. Bukan saja inti dari kegiatan itu, tetapi juga pengalaman mereka bersama dengan teman-teman kelas. Menurut mereka, ada rasa yang berbeda dari kegiatan yang biasa berlangsung sepekan ini. 

Kegiatan rekoleksi serupa dengan kegiatan rohani. Biasanya ada pemuka agama yang diundang. Entah sebagai pembicara selama waktu rekoleksi maupun sebagai fasilitator kegiatan rohani. 

Tidak masalah. Yang paling penting bisa keluar kota. Bisa merasakan kegiatan yang kerap diceritakan oleh kakak kelas setiap tahun.

Pasalnya, kegiatan rekoleksi ini bukan sekadar kegiatan rohani. Ini juga kegiatan berkumpul bersama teman-teman. Bahkan pada kesempatan ini, orang bisa mengungkapkan perasaan suka mereka kepada teman kelas. Maklum waktu tamat sekolah akan segera berakhir.

Makanya, di kalangan para siswa sekolah kami, kesempatan rekoleksi adalah kesempatan terakhir untuk mengungkapkan perasaan kepada seseorang cewek yang ditaksir. Kalau diterima, itu merupakan nilai tambah dari pengalaman. Akan tetapi, apabila ditolak, resikonya bisa berwarna-warni.

Bisa saja, dia menjadi pembicaraan di kalangan teman kelas. Juga, kegiatan rekoleksi itu pun menjadi hambar baginya. 

Namun, banyak yang mempercayai efek rekoleksi. Sangat jarang kisah penolakan. Yang terjadi kisah penerimaan dari teman cewek yang ditaksi. Kabarnya, ada kepercayaan di kalangan cewek. Kalau menolak, ungkapan cinta seseorang di tengah kegiatan, dia bisa mendapat tulah. Tulah tidak menikah. 

Entah darimana kepercayaan ini  terlahir, tidak ada yang tahu. Yang pasti para siswa menghidupi kepercayaan itu. Jadinya, kegiatan rekoleksi yang seyogianya dimaknai sebagai kegiatan pendalaman rohani malah dipenuhi oleh kepercayaan-kepercayaan konyol para siswa. 

Para guru tidak menutup mata. Berkali-kali para guru mengingatkan kesalahan dalam kepercayaan itu. Bahkan pemateri rekoleksi juga dibekali oleh para guru agar para siswa tidak terjebak pada kepercayaan yang sama. Akan tetapi, hal itu sia-sia. 

Kali ini, guru pendamping memilih sebuah tempat rekoleksi yang berada di salah satu daerah pegunungan. Hawanya sejuk. Tempatnya tenang.

Tempat rekoleksi adalah sebuah komunitas bekas biara. Rumah besar dan berusia tua. Kira-kira sudah lebih dari 100 tahun. Arsitekturnya terlihat antik. Masih didominasi kayu. 

Pengasuh kompleks rumah mengakui bahwa rumah itu diubah menjadi rumah kegiatan rohani semenjak para biarawan tidak lagi tinggal di tempat itu. Jadinya, rumah biara yang biasanya dipenuhi oleh para biarawan sudah  terbuka bagi publik dari luar.

Bagi para pemilik rumah, itu bertujuan agar rumah itu tetap terjaga. Sayang kalau rumah bersejarah dibiarkan kosong. Bisa jadi, rumah itu akan termakan rayap kalau tidak diperhatikan. 

Maka dari itu, rumah itu terbuka bagi publik. Setiap yang mau menginap akan ditetapkan biaya tingga. Lumayan murah bila dibandingkan dengan rumah-rumah lainnya. Dengan ini pula, pemilik rumah bisa memanfaatkan pendapatan itu untuk menjaga rumah itu tetap awet.

Saya merasakan aura berbeda. Rumahnya terkesan sepih, walaupun suara kami yang terdiri dari 45 siswa terdengar riuh. Pohon-pohon pinus yang tumbuh di halaman rumah menambah kesan berbeda. 

Rumah ini bukan sekadar sebuah rumah. Pasti ada sesuatu yang berdiam di baliknya. 

Setelah mendengarkan pelbagai arahan selepas makan malam, kami pun diminta untuk ke kamar masing-masing. Sangat dianjurkan untuk langsung tidur agar bisa memulihkan kondisi tubuh selepas 8 jam perjalanan.

Setiap siswa menempati satu kamar. Kamar mandi dan toilet terpisah. 

Menurut pengasuh rumah, hal itu sudah menjadi model rumah biara yang sudah dibangun sejak dulu. Kamar mandi dan toilet selalu terpisah. "Pantas saja harganya cukup terjangkau," pikir saya. Pasalnya, di rumah-rumah lain, tiap kamar sudah dilengkapi dengan kamar mandi dalam. 

Lelah menghampiri cukup awal. Rasa ngantuk begitu cepat menghinggapi diri. Apalagi hawanya cukup sejuk. Sangat berbeda dengan tempat asal kami. Tak heran, saya cepat mengatupkan mata.

Belum beberapa menit mengatupkan mata, tiba-tiba bayangan putih berjubah seolah membuka pintu kamar dan langsung mendekati tempat tibtidur saya. Saya terkejut. Ternyata tidak ada orang. Namun, rasa takut menghinggapi diri. 

Daripada mengungsi ke teman di kamar tetangga, lebih tetap melanjutkan tidur. Mengunsi berarti siap menerima olokan di keesokan harinya karen takut tidur sendiri.

Setelah beberap menit bergejolak dengan perasaan yang tak jelas, rasa kantuk kembali hinggap. Belum beberapa menit, bayangan putih itu kembali hadir. Dia membuka pintu dan seolah langsung menuju tempat tidur saya. Saya kembali kaget. 

Rasa takut tak terbendung lagi. Lebih baik siap menerima olokan daripada tidur dipenuhi ketakutan. Mengunsi ke kamar teman akrab menjadi pilahan. Rupanya, teman ini juga belum tidur. Agak takut bukan karena mimpi, tetapi karena bunyi air dari kamar mandi yang tidak bisa tidur. Terkesan horor baginya. 

Teman ini mengiakan untuk membagi kamar dengannya. Lelap tak terhindarkan karena rasa lelah yang sudah tak terbendung. 

Mimpi semalam tetap menjadi pengalaman yang sulit tak terbendung. Pikiran saya masih berkutat dengan sosok berjubah putih yang memasuki kamar saya. 

Seperti biasa, kegiatan pagi kami diawali kegiatan rohani. Pengasuh rumah sekaligus pemuka agama memimpin kami dalam kegiatan rohani. Setelah membacakan Sabda Tuhan, beliau memberikan renungan singkat. 

Dalam renungan singkatnya, beliau berkisah tentang sejarah rumah ini. Dalam kisahnya itu, dia juga berkisah tentang sosok yang sangat berjasa membangun rumah itu. Seorang Pastor asal Jerman.

Menurutnya, bertahun-tahun beliau menjadi pengasuh rumah itu. Hari di mana kami tiba di rumah itu merupakan peringatan kematiannya. Hingga di suatu hari, beliau ditemukan meninggal dunia di kamarnya. Kamar 111. Sampai saat ini, nomor kamarnya belum diubah. 

Ketika melihat nomor di gantungan kunci, saya begitu terkejut. Tertulis nomor 111. Saya begitu shock dan ingin segera meninggalkan ruangan doa dan pergi menjauh dari rumah itu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun