Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Dilema Resign, Saat Keputusan Pribadi Terbentur Keinginan Orangtua

2 Oktober 2020   17:19 Diperbarui: 3 Oktober 2020   15:58 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dilema resign (Sumber: www.pixlr.com)

Saya masih ingat pesan singkat yang dikirim oleh saudari saya beberapa hari lalu. Pesannya bahwa dia berencana untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. 

Sebenarnya, pesan itu bukan sekadar informasi. Akan tetapi, itu juga bermaksud untuk meminta pendapat saya sebagai seorang kakak.

Saya tidak berbicara banyak. Saya hanya meminta saudari saya mempertimbangkan pelbagai hal apabila tetap bekerja di tempat itu dan apabila berhenti. 

Dari pelbagai pertimbangan, dia menilai bahwa beban kerja di tempat itu tidak sebanding dengan penghargaan yang diterima. Ujung-ujungnya, dia mengakui jika dia sudah tidak bahagia dengan situasi di tempat kerjanya.

Tanpa bertanya lebih jauh sebab ketidakbahagiaannya itu, saya pun coba memahami situasinya. Sembari mengiakan keputusannya untuk berhenti, saya sempat mengatakan bahwa berhenti berarti kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Dengan ini pula, harus mencari pekerjaan baru agar kelak tidak membebankan orang lain.

Persoalannya, ketika lapangan pekerjaan tidak ada. Maka dari itu, berhenti dari pekerjaan itu sekiranya tidak menjadi beban bagi kehidupan di rumah. Dengan demikian, keputusannya adalah tanggung jawabnya sendiri. Pastinya, dia juga menjelaskan keputusannya itu kepada orangtua di rumah. 

Sewaktu saya pulang ke rumah tahun lalu, beberapa kali orangtua saya meminta adik saya untuk berhenti dari pekerjaannya kalau dia sudah merasa terbebankan. Pasalnya, dia mengeluh pada perlakuan pengawas di tempat kerjanya.

Dengan ini, orangtua melihat kesusahannya sebagai seorang pekerja. Bagaimana pun, sebagai orangtua, mereka tidak mau anak mereka tersiksa karena sebuah pekerjaan. Berhenti dari pekerjaan itu bisa menjadi solusi untuk keluar dari situasi sulit. Toh, pekerjaan lain bisa dicari.

Ada pelbagai alasan seseorang memilih berhenti dari pekerjaan. Di balik pelbagai alasan itu, satu hal yang kerap terjadi bahwa itu merupakan keputusan pribadi. 

Keputusan pribadi itu terlahir karena pelbagai pertimbangan. Bisa saja, pertimbangan kondisi diri. Misalnya, sakit. Atau juga, pertimbangan situasi tempat kerja. Karena situasi tempat kerja yang tidak kondusif, maka ada niat untuk keluar dari pekerjaan itu. Toh, kebahagiaan menjadi salah satu alasan orang bekerja.

Ketika kebahagiaan lenyap dari dalam diri seorang pekerja, ada rasa kecewa. Tidak semangat lagi untuk menjalankan pekerjaannya. Ujung-ujungnya, itu bukan saja berdampak pada produktivitas di tempat kerja, tetapi juga pada kondisi diri. 

Maka tidak heran, orang mencari hiburan seperti lewat mengonsumsi minum-minuman keras. Akan tetapi, ada yang berani mengambil jalannya sendiri. Berhenti dari pekerjaan tersebut. Pilihan ini terbilang berani sekaligus tepat.

Ya, daripada tidak bahagia dan terbebankan dengan pekerjaan, lebih keluar mencari tantangan baru yang bisa memberikan kebaikan pada diri. Pun daripada mengambil jalan salah hanya karena situasi di tempat kerja yang sudah tidak nyaman, lebih baik berusaha di tempat lain.

Namun, kadang kala keputusan berhenti dari sebuah pekerjaan berbenturan dengan kehendak orangtua. Pasalnya, orangtua membiayai pendidikan dengan dalil agar anak-anak bisa mendapat penghidupan yang layak lewat pekerjaan. 

Ketika seorang anak sudah bekerja, orangtua merasa bangga dengan usaha mereka dalam membiayai pendidikan anak-anak.

Oleh sebab itu, ketika seorang anak memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan, orangtua cenderung merasa kecewa tanpa mencerna alasan di balik keputusan itu. Orangtua menilai bahwa berhenti dari pekerjaan merupakan sebuah kegagalan.

Padahal, ada pelbagai faktor di balik keputusan itu. Ketika tidak dijelaskan dengan baik, hal ini bisa menimbulkan benturan antara anak dan orangtua.

Memang sangat susah bekerja karena motif kehendak orangtua. Ketika selesai sekolah, orangtua menginginkan agar anak-anak mereka harus langsung mendapatkan pekerjaan. Padahal, mencari pekerjaan itu bergantung pada minat anak juga dan ketersediaan lapangan pekerjaan.

Pada saat seorang anak memilih berhenti dari pekerjaannya, orangtua menjadi murka. Mereka tidak mau anak mereka menjadi pengangguran. Padahal, dia berhenti karena situasi yang sudah tidak nyaman di pekerjaannya itu.

Situasi seperti ini memberikan beban batin kepada seorang anak. Dia menjadi tidak bebas, berhenti dari pekerjaan menjadi salah. Jadinya, dia bekerja hanya demi kehendak orangtua.

Seyogianya, seorang bekerja karena keputusan pribadi. Terus bekerja ataukah berhenti, semuanya itu bergantung pada keputusan seorang anak. Orangtua seyogianya berperan untuk mendukung setiap keputusan yang terlahir.

Dengan ini pula, orangtua bisa menuntun seorang anak pada pribadi yang dewasa dalam menghadapi setiap keputusan. Mereka bisa mengambil keputusan. Keputusan itu pun didukung oleh orangtua. Alhasil, di balik setiap keputusan seorang anak merasa senang dan mau mencari kesempatan dan peluang baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun