Persoalan pandemi merumitkan situasi di Indonesia. Jumlah kasus korona terus bertambah.
Hal ini juga terjadi di ibukota negara, DKI Jakarta. Karena ini, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan berencana untuk mengembalikan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Pengembalian status PSBB ini seperti langkah tarik rem a la pemerintah DKI di tengah perkembangan kasus korona. Menghentikan mobilisasi massa yang dinilai berpeluang dalam penyebaran Covid-19 dinilai sebagai cara untuk meminimalisir penyebaran kasus.
Ya, setelah pelonggaran masa PSBB, banyak pihak yang seolah tidak peduli dengan situasi. Beraktivitas dengan biasanya, tanpa peduli dengan situasi pandemi. Sebagai akibatnya, tidak sedikit orang yang terpapar dengan penyakit Covid-19.
Hal yang sama juga terjadi di sini, Filipina. Sewaktu karantina dilonggarkan dan akses mobilasi massa dibuka, jumlah kasus meningkat drastis. Karena ini, pemerintah pusat melakukan tarik rem sebagaimana yang akan diberlakukan di DKI Jakarta.
Tarik rem untuk status PSBB seolah menguapkan gagasan new normal. Realitas menunjukkan banyak orang yang tidak menerjemahkan gagasan itu dengan cara hidup harian.
Seyogianya, gagasan new normal itu nampak lewat cara hidup baru. Dalam mana, menjalani protokol kesehatan bukan dilakukan atas dasar instruksi dari otoritas semata atau juga takut dihukum, tetapi itu merupakan bagian dari cara hidup. Protokol kesehatan merupakan cara hidup baru yang dijalani masyarakat.
Berbicara tentang cara hidup acap kali mengandaikan terbangunnya kesadaran pada setiap individu. Kesadaran itu melibatkan pengetahuan dan sikap dalam menyikapi sebuah situasi. Pada situasi pandemi, hemat saya, tidak sedikit orang yang tidak sadar dengan situasi yang terjadi.
Menganggap remeh situasi pandemi dan tidak peduli dengan kesehatan adalah bentuk dari lemahnya kesadaran di dalam diri. Terlebih lagi, jika banyak orang diasupi dengan informasi-informasi hoaks tentang pandemi.
Dengan situasi seperti ini, apa pun kebijakan yang mau diambil tanpa dibarengi dengan kesadaran dari masyarakat, kebijakan itu akan bertepuk sebelah tangan. Termasuk, kebijakan karantina atau juga PSBB total.
PSBB merupakan kebijakan dalam menghadapi pandemi korona. Kembalinya PSBB merupakan cara untuk mengatasi penyebaran kasus pandemi korona.
Akan tetapi, kebijakan ini akan terdengar nyaring bunyinya tanpa hasil memuaskan apabila pada level masyarakat tidak ada kesadaran. Kesadaran itu menyangkut tentang makna kesehatan.
Seharusnya, di balik setiap kebijakan, pertimbangan pada kesadaran dan mentalitas masyarakat sangat perlu dipertimbangkan. Apakah masyarakat siap menerjemahkan setiap kebijakan dalam hidup harian?
Faktor mentalitas masyarakat menjadi salah satu pertimbangan di balik setiap kebijakan. Karantina tidak menjadi jaminan dari keberhasilan dari sebuah kebijakan apalabila tidak dibarengi dengan mentalitas masyarakat.
Misalnya, situasi karantina total di Filipina. Meski pemerintah sudah mengerahkan pihak keamanan dalam menerapkan aturan karantina total, tidak sedikit orang yang tidak peduli dengan situasi. Terbukti dengan pelbagai pelanggaran yang terjadi selama masa karantina. Dengan ini, masyakat tidak memahami dengan baik alasan di balik pemberlakuan karantina.
Bahkan masyarakat begitu pandai mencari cara agar bisa keluar dari situasi sulit. Misalnya, dalam aturan karantina, pemerintah melarang untuk menjual minuman keras. Kalau kedapatan, mereka akan diproses secara hukum.
Agar bisa memenuhi dahaga untuk mengonsumsi minuman keras, beberapa pihak rela menggunakan kendaraan pengangkut jenasah dan bahkan mobil medis untuk mengangkut minuman keras.
Situasi ini menunjukkan bahwa faktor kesadaran masyarakat tentang sebuah situasi termasuk segala kebijakan di dalamnya menjadi hal yang perlu diperhatikan secara serius.
Tarik rem dengan pemberlakuan kembali PSBB total juga berdampak signifikan apabila kesadaran masyarakat sudah terbangun tentang protokol kesehatan. Kesadaran masyarakat tentang makna protokol kesehatan dan PSBB sangatlah penting agar PSBB itu bukan berakhir hampa dan sia-sia.
Akan tetapi, apabila masyarakat belum sadar pada protokol kesehatan tersebut, atau juga mereka menjalaninya karena faktor taat dan takut pada otoritas, kebijakan itu tidak membuahkan hasil.
Kebijakan PSBB ini tentunya hanya sementara waktu. Susah kalau hal ini diberlakukan untuk jangka waktu yang lama karena itu bisa mempengaruhi aspek lainnya.
Selain itu, masih ada belum ada vaksin untuk Covid-19. Boleh jadi, selepas PSBB dilonggarkan, situasi yang sama akan kembali terjadi. Tentunya, kita tidak ingin PSBB kembali diterapkan.
Berbarengan dengan menerapkan PSBB, sekiranya pemerintah perlu perlahan membangun kesadaran masyarakat. Kesadaran itu terbangun mulai dari lingkup keluarga, menggerakan lingkup RT/RW dan desa guna membangun kesadaran masyarakat.
Awalnya barangkali sulit, tetapi faktor pembiasaan bisa menghadirkan buah yang positif. Kesadaran masyarakat tentang kesehatan adalah fondasi dalam menghadapi pandemi yang sementara terjadi.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H