Seorang ibu berkisah tentang saat awal masuk sebuah kabupaten baru. Karena kekurangan tenaga kerja, banyak pegawai asal dari kabupaten itu yang dipulangkan dari pelbagai kota. Mereka direkrut untuk menjadi pekerja di kabupaten baru tersebut.
Suami ibu itu juga menjadi bagian dari pemindahan tersebut. Gara-gara tugas suaminya itu, mereka sekeluarga mesti pindah dari ibukota provinsi dan ditempatkan di kabupaten baru tersebut. Anak-anak juga harus pindah sekolah.
Kabupaten baru memang bukanlah tempat asing bagi mereka. Ibu itu sendiri berasal dari kabupaten tetangga. Suaminya yang berasal dari salah satu desa yang bernaung di bawah kabupaten baru itu.
Persoalannya, mereka sudah puluhan tahun tinggal di ibukota provinsi. Cara hidup di ibukota provinsi sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Pulang dan menetap di kota yang masih baru tentunya membutuhkan adaptasi yang tidak gampang.
Mereka harus melepaskan kenyamanan di ibukota provinsi. Bahkan mereka harus meninggalkan rumah yang sudah dibangun untuk sekian tahun. Â
Di kabupaten baru ini mereka seolah mulai dari awal. Walau suaminya ditempatkan sebagai pemimpin di salah satu kantor dinas, mengatur hidup baru di kabupaten itu bukanlah perkara gampang. Karena ini, ibu ini memutuskan untuk melakukan bisnis dari rumah.
Dia mulai bisnis bunga. Halaman rumahnya cukup luas. Dia menempatkan pelbagai macam pot bunga di halaman rumah itu. Selain banyak orang yang membeli, banyak juga orang yang menyewa bunganya untuk kebutuhan acara pesta.
Tidak sampai di situ. Dia juga mulai bisnis makanan. katering. Berkat pekerjaan suaminya, bisnis katering gampang dikenal. Setiap kali ada kegiatan perkantoran atau acara tertentu, banyak orang mengorder kateringnya. Terlebih lagi, waktu itu bisnis ini belum banyak menjalaninya.
Namun, tidak disangka, apa yang dilakukannya itu kurang mendapat simpati dari para tetangga sekitar. Pasalnya, dia baru beberapa tahun tiba dan menetap di kota kabupaten itu, namun kehidupan bisnisnya berkembang pesat. Â
Ketidaksukaan itu lebih dilatari karena mereka yang sudah menetap lama, atau boleh dibilang tuan tanah, tidak mengalami perkembangan seperti itu. Bahkan mereka melihat itu sebagai ancaman. Terlebih lagi, saat bisnis dikenal luas dan mendapat banyak pesanan.
Usaha bisnis ibu bertumbuh cepat. Ini terjadi karena peluangnya begitu besar. Mungkin, ibu itu satu-satunya yang memulai bisnis bunga di kabupaten itu dan salah seorang yang berbisnis katering. Bisnisnya itu seolah juga menjawabi geliat perkembangan kabupaten baru.
Reaksi dari tuan tanah pada perantau kerap menghiasi kehidupan sosial. Pada saat orang-orang dari tanah rantau lebih maju, tidak sedikit orang yang merasa cemburu dan tidak suka dengan situasi itu. Bahkan ada yang menilai secara ekstrem untuk berhati-hati agar para perantau tidak boleh menjadi "penguasa".
Pikiran seperti ini terlalu sempit. Apa yang dilakukan para perantau sebenarnya menjadi rangsangan bagi tuan tanah. Ternyata, tidak perlu pergi ke tempat jauh untuk bisa mencari nafkah. Perlu belajar dari orang-orang rantau yang bisa bekerja dan menghasilkan uang.
Mereka berasal dari tempat jauh, tetapi mereka bisa mengubah situasi menjadi tempat penghidupan. Bukannya melihat keberhasilan mereka itu sebagai ancaman yang bisa meminggirkan pemilik tanah dari kehidupan sosial.
Pandangan seperti ini kerap menjadi pemicu konflik sosial. Gara-gara orang-orang dari tempat rantau lebih maju, banyak pemilik tanah yang merasa terancam. Ujung-ujungnya menciptakan gap yang memisahkan diri dengan orang-orang dari tanah rantau dengan tuan tanah.
Orang-orang rantau mendapat pembatasan tertentu. Mereka tidak boleh mengalami kehidupan sebagaimana yang dialami oleh tuan tanah. Kalau tidak mengikuti aturan tuan tanah, mereka diancam untuk diusir.
Keberhasilan para perantau merupakan sebuah perangsang. Ternyata, tanah yang mungkin dinilai tidak produktif bisa menjadi tanah yang bermanfaat. Pekerjaan yang dipandang rendah, ternyata pekerjaan itu bisa menghasilkan uang.
Sebelum bakso yang dijual dengan jasa sepeda motor menjamur saat ini di kota kami di Flores, banyak orang yang memanfaatkan jasa bakso gerobak. Umumnya, mereka yang menjual bakso, baik itu saat ini maupun dulu, adalah mereka yang berasal dari pulau Jawa.
Kota kami berada di bawah kaki bukit. Beberapa medan jalannya cukup mendaki. Namun, penjual bakso gerobak tidak melihat itu sebagai halangan untuk mencari rejeki. Bahkan karena mereka, banyak penduduk yang bisa menikmati bakso langsung di rumah.
Menariknya, tanpa rasa malu mereka mendorong gerobak bakso dari gang ke gang. Usianya mereka umumnya masih muda. Tidak gengsi dan tidak malu untuk menjalani pekerjaan di tempat orang lain. Tidak putus asa berhadapan dengan situasi yang terjadi.
Pada sisi lain, hal itu sangat sulit dilakukan oleh tuan tanah. Faktor gengsi bisa saja menjadi salah satu sebab untuk melakukan pekerjaan seperti itu.
Dampak lebih lanjut, para perantau mendapat pendapatan dan penghidupan. Sementara, tuan tanah tidak mempunyai pekerjaaan.
Padahal, pekerjaan yang sama bisa saja dilakukan oleh tuan tanah jika melepaskan rasa gengsi. Paling tidak, tuan tanah seyogianya berpikir lebih jauh bagaimana memberdayakan tempat dan situasinya menjadi sumber penghidupan. Pelajaran itu bisa diambil dari para perantau.
Dengan kata lain, ketekunan dan kerja keras para perantau mengingatkan siapa saja untuk bertekun dalam pekerjaan. Dengan ini pula, kita tidak melihat kesuksesan mereka sebagai ancaman, tetapi pelajaran yang bisa ditiru.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H