Pengalaman kemarin sore (26/7) di sebuah desa. Dalam perjalanan dari salah satu rumah penduduk ke tempat parkiran mobil, saya dan seorang teman bertemu dengan seorang anak remaja. Remaja perempuan autis.
Tubuhnya gempal. Penampilannya agak tak terawat. Nampaknya dia begitu memerhatikan kami yang berjalan ke arahnya. Barangkali karena kami orang baru di lingkungannya.
Saya menyapanya. Namun, dia tidak terlalu bereaksi. Rekan saya, yang kenal dengan remaja perempuan itu kemudian membuka percakapan tentang hidupnya.
Menurutnya, usianya hampir sama dengan anak puterinya. Berusia 17 tahun. Kalau dia bersekolah, dia sudah duduk di bangku kelas dua SMA.
Namun, pengalaman menyakitkan pernah terjadi padanya. Beberapa tahun lalu, anak remaja autis itu pernah menjadi korban kejahatan seksual. Keadian yang sungguh miris.Â
Dia pernah diperkosa oleh salah seorang asal kampungnya sendiri. Teman saya sendiri tidak mengatakan motif dari balik perbuatan bejat itu. Dugaan terbesar jika pelakunya berada dalam kondisi mabuk.
Sampai saat ini, pelaku pemerkosaan masih dipenjara. Ya, hukuman itu memang pantas dilimpahkan kepada pelakunya. Tega-teganya, orang itu memerkosa seorang anak yang tak berdaya secara fisik dan psikis.
Mendengar kisah itu, pelbagai hal bergelayut dalam pikiran saya. Tindakan bejat itu menunjukkan sisi buas dari seorang manusia. Sisi buas yang tak terkontrol dan mengarah pada perbuatan bejat.
Ya, kejahatan seksual kerap menyerang kaum lemah. Kaum lemah itu bisa saja anak-anak, kaum perempuan, dan bahkan mereka yang terbatas secara fisik dan psikis.
Kejahatan seksual kerap hadir karena melihat korban sebagai obyek pemuas keinginan semata. Setiap kali melihat lawan jenis, selalu hadir pikiran negatif. Terlebih lagi, jika pikiran negatif itu dipengaruhi oleh obat terlarang dan minum-minuman keras. Aksi pun akan sangat sulit terkontrol. Â
Walaupun juga, pada kenyataannya, lawan jenis itu masih terikat oleh hubungan darah atau juga dia mempunyai kelemahan fisik tertentu. Tidak sedikit kejahatan seksual terjadi di dalam rumah dan di antara kehidupan bertetangga.
Menghilangkan pikiran negatif, seperti melihat lawan jenis sebagai obyek adalah salah satu langkah untuk mengatasi aksi kejahatan seksual. Lawan jenis bukanlah obyek yang bisa dijadikan "alat" atau figur untuk memuaskan kesenangan semata.
Sangat perlu melihat dan menyadari keberadaan lawan jenis sebagai sosok seorang pribadi. Pribadi yang bermartabat. Pribadi yang mesti dihargai dan dihormati sebagaimana kita menghargai diri kita sendiri.
Misalnya, seorang anak autis. Dia tetaplah seorang pribadi yang mesti dihargai, dilindungi, dan dituntun. Dia bukanlah obyek yang dikesempingkan dan bahkan dijadikan peluapan kesenangan pribadi.
Lebih jauh, perlu juga menjaga lawan jenis.Tidak boleh menggunakan sisi kelemahan mereka untuk melanggengkan perbuatan bejat.
Kejahatan seksual kerap kali terjadi karena pola pikir negatif terhadap lawan jenis. Lebih melihat lawan jenis sebagai obyek pemuas kesenangan seksual.
Selain itu juga, adanya pola pikir yang menganggap lawan jenis hanya sebagai kaum lemah. Kelemahannya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan semata.
Seharusnya, lawan jenis dari pelbagai usia dan dari segala kondisi fisik dan kejiwaan mesti dilihat sebagai pribadi yang bermartabat. Mereka mesti dihargai. Mereka mesti dilindungi. Siapa pun mereka, anak-anak, kaum lemah secara fisik dan psikis tidak boleh dijadikan obyek. Kita semua sama sebagai pribadi yang bermatabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H