Partai PDIP merestui Gibran Rakabuming Raka, Putera sulung Jokowi menjadi calon walikota Solo. Inilah salah satu topik yang menghiasi diskusi politik tanah air saat ini. Topiknya menghangat karena Gibran adalah anak seorang Presiden. Kalau bukan itu, boleh jadi diskusinya hanya sebatas konteks tertentu.
Tentang ini, pelbagai orang mengulasnya dari pelbagai sudut pandang. Ada yang menilik dari faktor pengalaman Gibran sendiri dalam dunia politik. Ada pula yang mengaitkannya dengan bapaknya, Presiden Jokowi.
Ada juga yang menilai dari faktor pemilihan Gibran daripada kader-kader PDIP lainnya, terutama Purnomo. Hingga orang menilainya dari keberadaan dinasti politik di tanah air.
Masuknya Gibran ke dunia politik menambah daftar keberadaan dinasti politik di tanah air. Sudah banyak tercatat di mana dinasti politik menjadi salah satu wajah tersendiri dalam kontestasi politik.
Pada satu sisi, tidak masalah jika dinasti politik itu ada. Bisa saja, keluarga itu berdarah politik. Dalam arti, ada minat yang lahir turun menurun dari para anggota untuk berpolitik.
Betapa tidak, ada banyak orang yang orangtuanya pernah berpolitik, tetapi anak-anak mereka tidak berminat sama sekali untuk memasuki dunia yang sama. Misalnya, di Manggarai, Flores. Sampai saat ini, belum ada bupati dan wakil bupati yang berasal dari satu keluarga yang sama.
Persoalannya jika dinasti politik itu diciptakan untuk mendominasi iklim politik tanah air. Anggota keluarga dipaksakan untuk terlibat dalam dunia politik, meskipun yang bersangkutan tidak mempunyai kompetensi untuk berpolitik.
Andaikat skenario dari dinasti politik hanya untuk mengabsahkan pengaruh keluarga dalam kontestasi politik, hal ini tidak sehat untuk percaturan politik di tanah air. Bukan tidak mungkin ini menyebabkan pengebirian kandidat-kandidat politis yang lebih kompeten hanya demi melanggengkan kepentingan keluarga sendiri.
Harapannya, hadirnya Gibran dalam dunia politik bukan untuk mengabsahkan pengaruh politik keluarga Jokowi. Sebaliknya, ini terlahir karena minat dan kompetesi berpolitik Gibran, yang mana tidak jauh berbeda dari bapaknya. Juga, itu terlahir dari niat pribadi dan murni untuk menjadi seorang pemimpin politik yang berkompeten tanpa terikat bayang-bayang sang ayah.
Masuknya Gibran dalam percaturan politik tanah air menambah daftar anak-anak (mantan) presiden berpolitik. Kalau saya tidak salah hanya anak mantan presiden BJ Habibie yang terlihat bebas dari dunia politik tanah air (koreksi saya jika saya salah).
Selebihnya, dari presiden pertama, Soekarno, Soeharto, Megawati Soekarno Puteri, Gus Dur, SBY, hingga Presiden Jokowi saat ini, anak-anaknya terlibat dalam dunia perpolitikan tanah air.
Karena ini, bukan tidak mungkin percaturan dunia politik pada waktu yang akan datang hanya melibatkan anak-anak para mantan. Ini bisa pada Pilpres 2024 atauhkah di waktu lain. Terlebih lagi, mereka dalam usia muda. Â
Di sini saya bisa melihat tiga peluang yang bisa saja muncul.
Megawati Soekarno Puteri bisa diwakili oleh Puan Maharani yang sementara menjadi anggota sekaligus kedua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di senayan. SBY akan diwakili Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).Â
AHY sendiri sementara memimpin Partai Demokrat, warisan sang ayah. Dia juga pernah mempunyai pengalaman maju dalam kontestasi politik dalam Pilgub DKI Jakarta. Lalu, namanya juga sempat diisukan masuk kabinet Jokowi.Â
Sementara itu, Presiden Jokowi bisa saja diwakili oleh Gibran. Gibran sudah masuk dalam kontestasi Pilwakot Solo. Ini bisa menjadi titik tolak untuk bergerak pada konteks yang lebih luas. Sebagai anak Presiden, Gibran mempunyai nilai plus. Kamera bisa saja selalu menyoroti penampilannya. Semakin positif yang ditampilkan, daya tariknya pun bisa menguat.Â
Tentunya, Gibran mesti bekerja keras untuk bisa mengangkat performanya agar bisa terlihat mentereng di konteks nasional. Dengan kata lain, kalau Gibran terpilih menjadi walikota Solo, kesempatan itu bisa dijadikan investasi politik berharga pada konteks yang lebih luas.
Tiga nama ini terlihat bisa saja muncul dalam kontestasi pilpres 2024 atau juga di waktu yang akan datang. Bagaimana dengan Tommy Soeharto?
Secara pribadi, saya sedikit mengerti sejarah, peluang Tommy Soeharto masih terlihat sulit. Walau demikian, jika Tommy Soeharto berhasil menunjukkan diri sebagai seorang politikus yang mumpuni, bisa jadi peluangnya terbuka.
Toh, tidak sedikit orang kerap melupakan sejarah dan lebih melihat performa sosok yang muncul dari apa yang ditampilkannya pada konteks saat ini. Padahal, sejarah masa lalu juga penting sebagai takaran untuk menimbang kehadiran seorang pemimpin dalam kontestasi politik.
Apabila skenario ini terjadi, hemat saya, ini bisa menunjukkan jika dunia politik kita berjalan agak mundur. Hal itu bisa menimbang dari sosok Presiden Jokowi.
Rekam jejak seorang Jokowi sebagai seorang politikus memantik banyak apresiasi. Rekam jejaknya terlihat dari perjalanan hidupnya. Dalam mana, dari pengusaha mebel, walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga beliau berhasil menaklukkan istana yang sebelumnya melekat dengan militer dan keluarga tertentu.
Dengan kata lain, kita juga perlu sosok-sosok baru dan kejutan. Sosok-sosok itu bisa berasal dari luar orang-orang yang pernah hidup di lingkaran istana. Kehadiran mereka juga menghadirkan pembaharu agar dunia politik lebih dinamis.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H