Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Relasi Suami dan Istri Tanpa Anak, Bukan Halangan untuk Hidup Setia

25 Juni 2020   21:11 Diperbarui: 25 Juni 2020   21:13 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sebuah keluarga. Sumber foto: Pexel.com

Kehadiran seorang anak selalu dinilai sebagai karunia terindah dalam relasi sepasang suami dan istri. Anak adalah karunia yang patut disyukuri, bukan saja oleh pasangan, tetapi oleh keluarga besar dari kedua belah pihak.

Sampai saat ini, di Manggarai, saat ada seorang perempuan melahirkan seorang anak, dia dan bayinya akan dikunjungi oleh banyak anggota keluarga lainnya. Kunjungan itu bisa bermakna membagi kebahagian di antara anggota keluarga dan menjadi ungkapan "selamat datang" kepada anggota keluarga baru.

Tidak jarang terjadi kalau orang menilai dan mengukur sebuah relasi dari kehadiran dan keberadaan anak. Tanpa anak berarti ada yang kurang dari relasi itu sendiri. Apalagi jika ini ditopang oleh konteks budaya dan sosial yang menilai kehadiran anak sebagai tolok ukur utama dari hidup berkeluarga.

Dua tetangga saya mempunyai nasib yang serupa. Hidup tanpa anak. Salah satu keluarga sebenarnya pernah mempunyai seorang anak. Tetapi anak mereka itu meninggal dunia sewaktu masih berusia balita. Tepatnya, 13 tahun lalu. Sampai saat ini, keluarga ini tidak dikarunia anak lagi.

Tetangga yang satunya lagi sama sekali belum mempunyai anak. Tetangga ini sudah berada di awal usia 40-an. Mereka hanya tinggal berdua. Jarak antara rumah dari tetangga ini dengan yang satunya hanya sekitar belasan meter.

Menariknya, kedua tetangga ini masih mempunyai hubungan yang sangat dekat. Yang Perempuan dan yang laki-laki masih berstatus saudara dan saudari kandung.

Makanya, sewaktu saya melihat hal itu, saya coba menduga situasi mereka dari faktor genetik. Namun, setelah di telusuri, ternyata saudara-saudari mereka yang lain mempunyai anak. Dugaan saya salah.

Di sini, di salah satu provinsi Filipini, beberapa situasi serupa dengan konteks di Flores. Tidak memiliki anak masih menjadi bahan sorotan banyak orang.

Kedua tetangga ini mempunyai rumah yang begitu bagus. Ini terjadi karena mereka mempunyai pekerjaan dan pendapatan yang mumpuni. Bahkan salah satu tetangga membangun rumah kedua tahun ini. Mempunyai dua rumah, tetapi tidak memiliki anak. Untuk siapa?

Tidak sedikit tetangga yang bereaksi. Reaksi mereka umumnya mengatakan untuk apa membangun rumah baru, sementara mereka sendiri tidak memiliki anak.

Reaksi seperti ini menunjukkan jika banyak orang masih mengukur relasi dari sisi kehadiran dan keberadaan seorang anak di tengah keluarga. Harta benda, termasuk rumah yang dimiliki saat ini ada dan akan diberikan kepada anak-anak kelak. Kalau tidak, harta itu akan melapuk bersama waktu.   

Namun, melihat keseharian pasangan ini, saya tidak melihat kekurangan dari situasi itu. Mungkin di dalam diri mereka, mereka mempunyai perasaan tersendiri tentang hidup tanpa anak. Tetapi, melihat kehidupan harian mereka, kedua tetangga ini terlihat bahagia.

Tanpa anak bukanlah persoalan bagi relasi mereka. Mereka tetap ke gereja seperti biasanya. Berelasi sebagaimana mestinya.

Kebetulan, suami dari kedua tetangga ini adalah pekerja di luar negeri. Pergi dalam jangka waktu yang lama, dan kadang berlibur beberapa bulan. Setelah itu, pulang lagi ke luar negeri untuk bekerja. Hanya karena pandemi, mereka tinggal agak lama di rumah untuk saat ini.

Walau demikian, mereka tetap setia satu sama lain. Tidak terdengar kabar miring. Malah, relasi mereka begitu dekat.

Dengan ini, saya melihat relasi dua orang, antara laki-laki dan perempuan tidak ditentukan semata-mata karena faktor anak. Relasi itu terbangun karena pertama-tama cinta di antara kedua belah pihak.

Lalu, cinta itu berbuah pada kehadiran anak di keluarga. Dengan demikian, tanpa anak ataukah ada anak, sejauh cinta itu selalu kuat, relasi pun akan selalu kuat.

Banyak yang sudah mempunyai anak, tetapi relasi mereka berhenti di tengah jalan. Banyak pula yang berelasi hingga akhir hayat mereka walau relasi itu tanpa dikarunia oleh anak.

Jadi, keutuhan sebuah relasi sangat bergantung pada rasa cinta yang ada dalam diri kedua pasangan. Pendeknya, rasa cinta itu tidak akan terpengaruh, baik itu di tengah momen sukacita, maupan dalam situasi dukacita.

Gobin Dd

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun