Terlebih lagi, suami-istri tidak mempunyai pekerjaan lain, selain tinggal di rumah. Sebelum masa karantina, seorang suami atau istri menghabiskan banyak waktu di luar rumah. Pagi pergi bekerja dan pulang menjelang malam. Umumnya, saat sudah pulang ke rumah sudah lelah. Pulang ke rumah hanya untuk beristirahat.
Belum lagi, mereka yang bekerja tanpa mengenal hari libur. Contohnya, pekerja bangunan. Tiap hari bekerja karena mereka dibayar harian. Bekerja sehari mendapat pendapatan sehari. Melewatkan sehari berarti melewatkan pendapatan untuk keluarga.
Mengejar pendapatan setiap hari guna memenuhi kebutuhan keluarga. Jadinya, waktu untuk pasangan dan keluarga begitu sedikit. Pulang ke rumah hanya untuk beristirahat. Â
Namun, masa karantina mengubah situasi. Ruang gerak terbatas. Sepanjang hari tinggal di rumah atau juga terbatas pada wilayah desa semata.
Dengan ini, setiap orang harus tinggal di rumah. Termasuk, pasangan suami-istri. Dengan ini, waktu bersama lebih banyak daripada sebelum masa karantina.
Situasi ini bisa membahasakan pandangan lain tentang situasi di balik masa karantina. Kalau diproyeksi, tingkat kelahiran setelah 8-9 bulan akan meningkat. Ujung-ujungnya, populasi penduduk bisa meningkat.
Memang hasil perkiraan ini sangatlah sempit. Pasalnya, ini hanya bertolak dari situasi dan konteks yang cukup kecil. Hanya dari dua desa.
Namun, bukan tidak mungkin ini juga berlaku di banyak tempat yang mana banyak pasangan suami-istri yang membiarkan waktu mereka tinggal di rumah.
Dari situasi ini bisa membahasakan pengaruh masa karantina. Dalam mana, banyak orang harus tinggal di rumah.
Tidak apa-apa jika rumah dan halaman rumah begitu luas. Ini memungkinkan orang-orang untuk memanfaatkan halaman rumah yang luas itu untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, seperti berkebun atau aktivitas lainnya untuk untuk mengisi waktu.
Tetapi kalau tidak, kondisi seperti rumah yang kecil dan sempit, ruang gerak terbatas di rumah. Sering berada bersama tanpa aktivitas fisik.