Saya sendiri pernah berutang. Salah satu sebab utama saya berutang adalah karena kebutuhan yang sangat mendesak.
Puji Tuhan, sampai sekarang ini saya belum pernah berutang untuk mendapatkan kesenangan tertentu. Misalnya, berutang hanya untuk membeli sepatu kesukaan, pergi pesiar ke tempat hiburan tertentu, membeli barang-barang mewah dan lain sebagainya.
Pendeknya, saya berutang karena kebutuhan yang mendesak dan bukannya karena keinginan. Dengan berutang, paling tidak saya bisa memenuhi kebutuhan itu. Apalagi jika kebutuhan itu sangat mendesak, yang mana harus dipenuhi sesegera mungkin.Â
Misalnya, berutang untuk membayar uang arisan karena saya belum mempunyai uang. Atau juga berutang untuk membayar uang untuk kebutuhan sekolah karena kiriman terlambat dari orangtua. Dan, saya biasanya membayar utang itu sesegera mungkin saat saya sudah mempunyai uang.
Berutang bukanlah pengalaman yang nyaman. Rasanya tidak nyaman saat bertemu dengan pemilik utang. Setiap kali bertemu dengan pemili utang, ada cenderung untuk menghindar.
Tetapi saat situasi ini tidak dihindari, selalu mengeluarkan janji-janji (semu) soal waktu pembayaran utang. Jadinya, gara-gara utang kita juga terlatih menjadi penipu daripada seorang yang jujur untuk menyatakan keadaan yang sesungguhnya.
Makanya, sampai sekarang, sebisa mungkin saya berupaya untuk tidak berutang. Caranya, selalu menyiapkan dana darurat. Â Dana darurat ini menjadi dana cadangan saat ada kebutuhan mendesak.
Selain itu, saya juga pernah menjadi orang yang memberikan utang kepada rekan dan teman. Bahkan sampai saat ini, saya masih mempunyai utang pada beberapa orang. Beberapa di antaranya sudah lama berjanji untuk membayar.
Rasanya juga tidak nyaman saat bertemu mereka. Pasalnya, mereka kerap berjanji tetapi janji itu tidak dibarengi dengan kenyataan. Janji hanya saat bertemu, tetapi setelah itu mereka juga lenyap bersama dengan utang.
Selain itu, Â gara-gara utang, relasi bisa retak dan hancur. Ini terjadi saat pemilik uang meminta agar yang berutang untuk membayar utang segera mungkin. Kalau tidak dibayar, hal itu dilaporkan ke pihak keamanan. Bahkan, beberapa kali saya melihat orang-orang memposting seruan agar utang mereka dibayar lewat media sosial. Saat itu masuk ke media sosial, situasi tentunya berubah. Banyak orang yang tahu, dan yang berutang pasti merasa malu dan marah.
Utang selalu mempunyai pelbagai dampak dalam diri dan relasi sosial. Melansir berita dari Kompas.com (3/6/2020), seorang polisi Bripka Mangara Alva Pasaribu (36) nekad bunuh diri. Â Seperti yang terulis dalam Kompas.com, motif dari aksi bunuh diri adalah utang.
Kabid Humas Polda Sumatera Utara, Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja mengatakan korban nekat bunuh diri karena terlilit utang dan tidak sanggup membayar.
Mencermati motif bunuh diri, kita bisa melihat jika berutang sangatlah beresiko. Ini bukan hanya mempengaruhi relasi sosial, tetapi itu bisa menekan mental seseorang yang berutang.
Entah apa motif dari pelaku berutang. Tetapi jika dipikir-pikir, si pelaku mempunyai gaji bulanan. Gaji bulanan ini terlihat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga berutang menjadi pilihan.
Saya kira aksi ini terlahir karena tekanan batin di balik tumpukan utang. Utang yang barangkali sudah terbilang banyak hingga si pelaku bunuh diri merasa tidak mampu membayar atau juga tidak menemukan jalan keluar bagaimana bisa memecahkan persoalan utang yang dihadapinya.
Bertolak dari aksi bunuh diri ini, satu pelajaran yang bisa dipetik adalah berutang tidak bisa memberikan kebahagiaan. Barangkali itu bisa memberikan kesenangan, tetapi hanya sesaat. Selebihnya, kita akan dihantui oleh beban. Beban mental mengenai prihal bagaimana membayar utang tersebut. Pas tidak ada jalan keluar, jalan lain, bahkan jalan terburuk seperti bunuh diri, diambil.Â
Apalagi jika jumlah utang begitu banyak dan jumlahnya melebihi pendapatan kita. Hal ini akan membuat beban batin yang bisa berujung ketidaknyaman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kalau tidak kuat memikul beban itu atau tidak cara lain membayar utang itu, kita bisa terjebak pada perbuatan yang salah.
Mungkin kecuali mereka yang "bermuka tebal". Nekat berutang tanpa peduli bagaimana membayar utang tersebut dan tanpa peduli perasaan dari pemilik uang.
Ya, ada orang yang suka berutang, tetapi mereka tidak terlalu peduli pada pembayaran. Menariknya, mereka ini tidak malu. Muka tebal! Malah, yang malu adalah mereka yang mempunyai uang. Malu untuk meminta karena pelbagai alasan yang dilontarkan dan disampaikan. Jadinya, diam sembari berharap utang itu bisa terbayar. hehehe.
Solusi dari berutang adalah tidak boleh berutang. Titik! Solusi yang paling ampuh.Â
Selain itu, berutang hanya dibuat jika kebutuhan yang sangat mendesak, dalam mana kita tidak menemukan cara lain untuk menyelesaikan masalah kita hadapi. Kita berutang bukan untuk mendapatkan kesenangan. Lalu, saat kita memiliki uang untuk membayar, kita segera membayarnya. Tidak tunggu pemilik uang memintanya. Dengan kata lain, kita segera melepaskan diri dari utang yang kita miliki.
Utang bisa menyebabkan sakit mental dan persoalan sosial. Seyogianya sebisa mungkin kita menghindari dari kebiasan berutang. Siapkan dana darurat agar kita tidak terjebak pada praktik berutang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H