Menasihati seseorang bukanlah perkara gampang. Kita tidak hanya membutuhkan keberanian, tetapi kita juga membutuhkan kekuatan tertentu seperti posisi dan kekuasaan. Dengan itu, kita mungkin mempunyai wewenang yang diakui untuk menegur dan memberikan nasihat.
Tetapi tanpa itu, teguran kita bisa bertepuk sebelah tangan. Atau juga, orang yang ditegur bisa berbalik arah dan memarahi kita. Bahkan dia akan mencari-cari kesalahan kita seolah membenarkan kesalahan dirinya.
Memberi nasihat dan menegur yang bersalah seyogianya menjadi bagian dari sistem kehidupan sosial kita. Misalnya, saat ada yang tidak mengenakan masker di tempat publik, kita berhak untuk menegur dan mengingatkan yang bersangkutan. Namun, faktanya kerap kali kita membiarkan hal itu atau menunggu petugas untuk membenarkan kesalahan yang ada di depan mata.Â
Hemat saya, ini terjadi karena tidak adanya sistem kontrol sosial yang terbangun di dalam lingkungan sosial kita. Kecenderungan yang terjadi adalah kita lebih mau dikontrol oleh otoritas daripada sesama di sekitar kita. Sebagai akibat, adanya pembiaran saat orang tidak patuh aturan atau melakukan kesalahan.
Semasa saya tinggal di sekolah berasrama, kontrol sosial merupakan aturan tak tertulis yang berlaku umum. Pendamping asrama mengatakan kalau setiap kami yang tinggal di asrama adalah pendamping asrama. Kami menjaga diri kami sendiri sekaligus menjaga teman-teman yang lain dari kesalahan. Â
Dengan kata lain, kami berhak untuk mengoreksi dan menegur teman yang melanggar aturan. Walau kebijakan ini tidak tertulis, setiap orang seolah sudah mengerti aturan mainnya.Â
Memang, kalau dipikir hal itu terasa sulit untuk dipraktikkan. Pasalnya, tendensi sebagian besar dari kita yang tidak mau dikoreksi kalau melakukan kesalahan. Bahkan, saat dikoreksi, tendensinya adalah marah, tersinggung dan membela diri.
Namun apa yang sulit dipikirkan itu, tidak mustahil dilakukan. Kontrol sosial menjadi salah satu kosa kata penting dalam menjaga ketertiban di asrama dan di sekolah. Saat ada yang bersalah, yang bersangkutan diingatkan, ditegur dan diarahkan pada arah yang benar.
Sesama menegur sesama. Bukan karena faktor dukungan kuasa dan posisi, tetapi karena faktor relasi sebagai sesama penghuni sebuah komunitas. Toh, hasil dari kontrol sosial itu bukan untuk orang lain, tetapi demi kepentingan bersama di sebuah komunitas.
Biasanya, jam makan siang dan malam menjadi waktu untuk mengevaluasi apa yang terjadi. 30 menit dialokasikan untuk makan bersama. Setelahnya, ada sesi pengumuman dan himbauan. Kalau ada yang mau berbicara, terutama hendak mengungkapkan koreksi, yang bersangkutan diberi tempat.
Cara penyampainnya halus. Tidak melukai pelaku yang bersalah. Diskusi untuk persoalan itu terbuka untuk siapa saja. Tujuannya, untuk mengevaluasi dan mencari bersama solusi atas persoalan tersebut. Jadinya, kontrol sosial bukanlah sebuah aksi mengadili, tetapi membantu sesama untuk tidak masuk dalam kesalahan.
Membangun Sikap Kontrol Sosial di Keluarga dan di Sekolah
Sikap kontrol sosial sekiranya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan di rumah dan di sekolah. Kalau di rumah, kita sudah mungkin terbiasa dengan ini. Sesama saudara-saudari sudah tercipta sistem kontrol sosial antara satu sama lain. Antara saudara-saudari sudah terbiasa untuk saling mengontrol sikap dan perbuatan.
Kerap kali saya menemukan seorang anak balita yang melaporkan ulah kakaknya kepada orangtua. Contohnya, kakaknya menggunakan kata kotor dalam percakapan. Mungkin karena melihat dan mendengar nasihat orangtua tentang hal itu, anak balita ini menjadi sadar kalau apa yang dilakukan kakaknya itu salah. Makanya, dia melaporkannya kepada orangtua atas kesalahan yang dilakukan kakaknya.
Pelaporannya ini boleh jadi mencari kuasa orangtua untuk mengontrol kakaknya itu. Tetapi, ini juga sebuah upaya dari seorang balita agar kakaknya tidak melakukan kesalahan yang sama.
Namun, kadang terjadi kontrol sosial yang cenderung bertolak dari atas ke bawah. Seorang kakak berhak mengontrol adik-adiknya, tetapi adik-adiknya sulit mengontrol kakak karena faktor usia. Pada titik ini, kontrol sosial pun dipengaruhi oleh otoritas, yakni faktor usia.
Semestinya, kontrol sosial berlaku timbal balik. Tidak mengenal usia. Siapa saja wajib membantu yang bersalah tanpa terikat pada usia dan gender.
Begitu pula di sekolah. Kontrol sosial yang hanya terjadi dari atas ke bawah, tetapi mandek dari bawah ke atas. Belum lagi, aspek senioritas yang mungkin kuat berada di lingkungan sekolah.
Kontrol sosial menjadi efektif saat itu berlaku timbal balik tanpa pandang level. Dalam mana, jika kakak kelas berhak mengontrol adiknya saat bersalah, begitu pun adiknya berhak mengingatkan kakaknya atas kesalahannya.
Tentunya, ini tidak gampang, tetapi juga tidak mustahil untuk dilakukan. Ini membutuhkan pendampingan yang terus menerus agar sistem kontrol sosial terbangun dalam diri setiap orang.
Saya yakin kalau sistem kontrol sosial terbangun di setiap komunitas, hal ini akan menjadi mudah dalam konteks yang lebih luas. Kita membangun sistem kontrol sosial mulai dari lingkungan keluarga dan sekolah. Dalam mana, inilah lingkungan yang biasa menjadi lokus awal pembentukan karakter seseorang sebelum masuk dalam konteks sosial yang lebih luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H