Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Orangtua Bangga Saat Anak Mereka yang Masih SMA Punya Pacar Pertama

29 Mei 2020   08:26 Diperbarui: 29 Mei 2020   08:22 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu, saya menghadiri sebuah acara di salah satu desa di Filipina. Peresmian rumah baru. Acaranya berlangsung sederhana karena pemberlakuan aturan new normal.

Tidak ada musik. Jaga jarak menjadi pemandangan di rumah itu. Tidak ada sesi berkumpul yang biasanya terjadi kalau ada acara.

Situasi di rumah mungil itu tiba-tiba menjadi heboh. Saya penasaran. Pasalnya, saat saya tiba di rumah itu, orang-orang sedikit cuek, berlaku ala kadarnya, dan sibuk dengan urusan mereka sendiri.

Namun, situasi sontak berubah saat dua orang datang. Satunya remaja berusia 17 tahun dan salah satunya sudah berusia 21 tahun.

Yang menjadi perhatian mereka adalah remaja berusia 17 tahun. Perhatian dari sebuah keluarga besar.

Sebut saja namanya Dan. Rupanya, Dan ini adalah pacar dari salah seorang anggota dari keluarga itu. Pacar pertama. Sebut saja namanya, April. April sendiri masih berusia 16 tahun.

Pacaran anak remaja. Tetapi, tanggapan keluarga April seolah relasi itu bukan sekadar hubungan remaja. Lebih dari itu, Dan seolah dilihat sebagai calon hidup April yang sudah pasti. Padahal, bila dikalkulasi dari usia mereka, waktu masih panjang untuk sungguh-sungguh mau membentuk sebuah keluarga.

Saya tanyakan kepada Dan ihwal perjumpaan mereka. Menurut Dan, mereka bertemu di sekolah, SMA. Dan adalah kakak kelas dari April di SMA. Tahun ini, Dan sudah menyelesaikan sekolahnya, sementara April naik ke kelas XII SMA.

Rupanya April sudah menginformasikan kepada keluarganya perihal kehadiran pacarnya itu. Orangtua, nenek, paman dan tantanya, saudara dan sepupunya sudah tahu. Tidak heran, mereka sangat antusias menanti siapa pacar pertama dari April. Penantian itu tertebus saat Dan yang bercelana pendek, mengenakan topi dan beranting ini tiba di halaman rumah.

Ketika dia tiba dan diperkenalkan, satu per satu anggota keluarga dari April berdatangan. Ada yang memperkenalkan diri. Ada yang sekadar memperhatikan Dan. Ada pula yang bertanya mulai dari hal sederhana hingga tentang keluarganya Dan. Dan, Ada yang berkelakar untuk mengganggu relasi dari sepasang remaja tersebut.

Karena ini, Dan begitu kikuk. Tidak tenang. Berkali-kali dia menggoyangkan kakinya guna menetralisir situasi batinnya. Selain usianya yang begitu muda untuk menghadapi situasi seperti itu, juga itu merupakan pengalaman pertamanya. Tidak disangka, dia disambut laiknya pengantin yang hendak untuk meminang pacarnya.

Saya yang menyaksikan itu merasa kaget dan bingung. Kaget dan bingung pada budaya dan situasi sosial yang dihidupi.

Kaget melihat bagaimana sebuah keluarga memperlakukan pacar pertama dari anak mereka. Walaupun pacar pertama, mereka seolah memperlakukannya seolah seperti calon pengantin. Diterima dengan baik dan diperkenalkan ke publik. Situasi itu seolah membahasakan jika keluarga itu mengatakan kepada lingkungannya, "Yes", anak kami sudah mempunyai pacar.

April juga tidak bisa menyembunyikan sukacita dan kebangaannya. Dia bangga memperkenalkan pacar pertamanya itu kepada keluarganya.    

Saya juga bingung dengan budaya yang sementara dihidupi. Mungkin bukan di semua tempat di Filipina.

Tetapi saya sering melihat dan mendengarkan tentang hal ini. Saat seorang mempunyai pacar, dengan sendirinya identitasnya diketahui oleh keluarga kedua belah pihak. Tidak ada rahasia.  

Di saat-saat awal tiba di Filipina, seorang teman Indonesia yang sudah tiba lebih dulu mengatakan kalau pada umumnya orangtua senang jika anak perempuan mereka sudah mempunyai pacar. Bahkan mereka tanpa ragu memperkenalkan pacar mereka ke orang lain.

Status relasi berpacaran yang berusia agak dewasa biasanya berada pada level 50:50. Bisa berjalan hingga jenjang pernikahan, ataukah bisa juga putus di tengah jalan.

Hemat saya, untuk konteks, Dan dan April yang masih remaja, statusnya berada pada level 25:75 persen. 25 Persen berelasi agak lama, dan 75 persen akan berakhir saat keduanya sudah pergi ke jenjang universitas atau bekerja.

Mungkin, relasi mereka hanya dipengaruhi oleh darah keremajaan. Ada antusiasme untuk mengekspresikan diri.

Menariknya juga, pada saat seorang sudah menjadi pacar, dia pun diperlakukan sebagai bagian dari keluarga mereka. Sempat saya mendengar kata-kata dari kakak perempuan April. Agar Dan tidak perlu pulang cepat-cepat ke rumahnya. Tinggal di rumah sampai sore hari.  

Budaya yang berbeda. Tentunya, ini mengagetkan dan membingungkan bila menimbang dari budaya lain, termasuk dari budaya saya sendiri.

Secara umum, untuk konteks Indonesia berpacaran pada SMA memang terjadi. Tetapi tidak sedikit orangtua yang menghendaki agar anak mereka tidak boleh mempunyai pacar saat masih SMA.

Makanya, kecenderungan yang terjadi adalah menyembunyikan pacar sewaktu SMA dari pandangan orangtua. Pacaran hanya di sekolah, kalau ada kerja sekolah, dan acara-acara tertentu. Selebihnya, tidak gampang untuk mengelabui orangtua untuk berpacaran.

Namun, pemandangan yang saya saksikan menunjukkan sisi lain dari kehidupan bersosial dan berbudaya. Anak tidak perlu menyembunyikan fakta yang sementara dijalani. Meski masih berusia remaja, dia bebas mengekspresikan diri dan ada pengakuan dari keluarganya.

Memang, resikonya besar jika berpacaran saat masih berusia remaja. Usia-usia yang rentan untuk mencoba-coba hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan. Kalau tidak dikontrol dan dibekali pengetahuan yang memadai, relasi itu malah bergerak pada arah yang salah. Seperti, kehamilan di usia muda.

Makanya, peran orangtua di sini sangat penting. Bukan untuk membatasi, tetapi sekiranya mengontrol dan mengingatkan status dari relasi. Kalau anak berpacaran, mereka sekiranya diarahkan pada relasi yang benar dan tepat.

Dalam mana, di balik relasi itu, mereka juga diingatkan tentang prioritas hidup yang mesti mereka jalani. Tujuannya, supaya kedua belah pihak tidak terluka oleh relasi yang salah. Juga, mereka bisa mendapatkan cita-cita hidup yang mereka inginkan.

Gobin Dd

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun