Sejak 1 Mei lalu, beberapa provinsi di Filipina melonggarkan masa karantina. Dalam aturan pelonggaran itu, beberapa aktivitas publik terbuka untuk umum. Masyarakat juga, walau untuk kategori terbatas, bisa melakukan perjalanan ke kota dan kembali bekerja.
Berbarengan dengan pelonggaran itu, pemerintah juga menerapkan beberapa langkah antisipasi pencegahan virus korona. Langkah antisipasi itu secara umum merupakan cara hidup baru. New normal.
Seperti misal, masker wajib dikenakan di tempat publik, jaga jarak menjadi prinsip utama saat berada dengan orang lain, jam malam tetap diberlakukan dan penjualan minuman keras masih ditutup.
Walau situasi agak melonggar, cara hidup baru menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat. Masyarakat merasa tertantang karena merasa tidak siap dengan situasi baru.
Misalnya, budaya mengenakan masker bukanlah budaya masyarakat setempat. Ini juga tidak pernah diajarkan di bangku sekolah. Gara-gara korona, siapa saja musti menggunakan masker. Tidak sedikit yang menilai kalau mereka kepanasan saat mengenakan masker, terutama dari bahan-bahan tertentu.
Selain itu, pembatasan juga terjadi pada kategori umur. Senior citizens (60-an tahun ke atas) dan yang berumur 0-19 tahun dilarang untuk keluar rumah dan pergi ke tempat publik, seperti pasar, supermarke, mall dan gereja.
Antrian menjadi panjang dan lama di tempat-tempat publik seperti supermarket, toko obat dan pasar. Kalau sebelumnya, siapa saja boleh masuk walau situasinya berdesakan.
Saat ini, tidak semua orang bisa masuk sekaligus ke tempat publik. Harus antri dan menunggu berdasarkan aturan tertentu. Jadinya, tempat publik seperti mall mesti menyediakan area antrean. Juga salah satu konsekuensi pergi ke tempat publik adalah harus siap antri dan tahan diri untuk menunggu.
Tempat publik lain yang ikut dibuka adalah tempat ibadah. Memang, belum seratus persen pemerintah Filipina mengijingkan tempat-tempat ibadah di buka. Hanya di provinsi-provinsi yang situasinya sudah bebas korona.
Pembukaan tempat ibadah merupakan kabar baik bagi kaum beragama. Berdoa di rumah lewat radio, TV dan internet belum tentu memuaskan dahaga iman mereka. Pastinya, banyak yang tetap merasa jika berada langsung di tempat ibadah memberikan suasana yang berbeda.
Situasi tempat ibadah juga harus berhadapan dengan protokol new normal. Filipina sendiri merupakan negara yang bermayoritaskan Kristen Katolik.
Pihak otoritas gereja di Filipina sudah mengeluarkan aturan new normal guna diberlakukan di gereja. Umumnya, aturan new normal itu mengikuti standar yang digariskan oleh pihak pemerintah. Walau gereja yang membuatnya, tetapi tetap pemerintah yang bermain peran penuh dalam mengatur kebijakan new normal di gereja.
Jaga jarak, wajib mengenakan masker, check suhu tubuh sebelum masuk gereja, hanya yang berusia 20-59 tahun yang boleh datang ke gereja, dan yang sakit tidak boleh ke gereja adalah beberapa aturan new normal yang diberlakukan untuk di gereja.
Aturan new normal ini tentunya menjadi tantangan serius bagi gereja. Pasalnya, sebagai tempat ibadah, karakter gereja adalah terbuka untuk umum. Apa pun usia dan situasi seseorang, semua orang diterima di gereja.
Saya kira ini pun menjadi karakter tempat ibadah pada umumnya. Terbuka untuk siapa saja.
Kalau ada penolakan dan pemilihan umat, berarti itu bukanlah karakter dari sebuah tempat ibadah. Gereja dan tempat ibadah lain selalu dipandang sebagai rumah Tuhan. Sebagaimana Tuhan yang terbuka untuk semua, demikian pula rumah-Nya pasti terbuka untuk semua. Tanpa pandang usia dan situasi.
Namun, karakter ini bertolak belakang dengan protokol new normal. Ada pembatasan. Ada aturan yang mesti dituruti di tempat ibadah. Karena ini, protokol new normal berseberangan dengan karakter sebuah tempat ibadah.
Tetapi menimbang segala resiko dan konsekuensi yang bakal terjadi, aturan itu bisa dimaklumi. Toh, aturan ini bukan berlaku permanen. Ada waktunya berakhir. Selain itu, aturan ini dibuat untuk menjaga anggota gereja sendiri. Anggota yang dipandang sebagai yang gampang terlukai.
Aturan itu juga dinilai sebagai cara untuk melindungi umat manusia. Perlindungan umat manusia merupakan salah satu perwujudan hidup iman. Kita mengikuti sebuah aturan sebagai bentuk mewujudkan keimanan kita. Kita ingin melindungi diri kita sendiri dan orang lain, yang merupakan ciptaan Tuhan.Â
Aturan-aturan yang digariskan dalam protokol new normal, beberapa di antaranya barangkali berlaku untuk sementara waktu. Bergantung pada situasi dan penanganan korona. Tergantung kapan vaksin dan obat untuk korona bisa ditemukan.
Karenanya, tempat-tempat ibadah musti menerima konsekuensi dari protokol new normal. Kalau sebelum korona, banyak tempat ibadah sepi dari pengunjung, mungkin protokol new normal tidak berdampak sama sekali.
Tetapi jika banyak tempat ibadah yang kerap disesaki oleh umat, maka bersiaplah untuk melanjutkan kesiapan beribadah tanpa kehadiran banyak umat.
Ya, di Filipina hanya 30 orang yang boleh mengikuti ibadah. 30 orang ini sudah termasuk pemimpin upacara. Salah satu siasat yang dibuat oleh pemuka agama adalah mengalokasikan banyak waktu untuk ibadah guna mengakomodasi umat yang hadir. Selain itu, upacara keagamaan pun tetap disiarkan lewat media internet, radio dan TV untuk mengakomodasi yang tidak bisa hadir di gereja.
Misalnya, di salah satu gereja terbesar di provinsi saya tinggal membuat lima jadwal misa dalam satu hari Minggu. Dikalikan dengan 30, diperkirakan 150 yang hadir. Tentunya, jumlahnya masih kurang. Pasalnya, sekali perayaan misa biasanya dihadiri oleh ratusan umat.
Barangkali para pemuka agama perlu berdamai dengan situasi. Kebijakan itu terlahir bukan saja untuk sekelompok orang, tetapi untuk kepentingan banyak orang.
Untuk saat ini, setiap pihak, termasuk tempat ibadah perlu berdamai dengan situasi. Juga, tidak jemu-jemu mencari strategi agar kehidupan beragama tidak pudar ditelan krisis dan menanti waktu yang tepat untuk kembali pada situasi semula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H