Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Pengunduran Diri, Keputusan yang Perlu Dihargai daripada Dicela

25 April 2020   08:36 Diperbarui: 25 April 2020   12:13 1374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengunduran diri merupakan pilihan yang cukup familiar di dunia kerja. Tidak sedikit orang yang pernah dan sudah mengalami pengajuan surat pengunduran diri. Menariknya, banyak orang yang mendapat banyak keuntungan lewat pekerjaannya, tetapi mereka berani untuk mengundurkan diri.

Pengunduran diri sejatinya selalu terlahir dari sebuah alasan. Pada saat kita mengetahui alasannya, kita pun bisa memahami dan menghargai keputusan tersebut. Tetapi kalau tidak, kita bisa terjebak pada kecurigaan. Kecurigaan ini bisa berujung pada mencela pada pilihan yang telah dibuat.

Tahun lalu seorang teman, wanita, nekat memberikan surat pengunduran diri pada sebuah perusahan. Saya heran. Banyak anggota keluarga dan teman juga mempertanyakan pengundurannya itu. Bahkan pertanyaan-pertanyaan itu dibarengi dengan kecurigaan. Pasti ada yang salah dengan pekerjaannya atau dirinya.

Pasalnya, pekerjaannya terbilang menarik. Secara finansial, dia berkecukupan. Karirnya juga bagus. Dua sampai tiga kali, dia melakukan perjalanan ke luar negeri. Namun, dia tetap nekat untuk mengajukan surat pengunduran diri pada pekerjaan di mana dia sudah melayani selama 8 tahun.

Memang, kalau tidak ditanyakan, keputusan pengunduran diri itu hanya akan berada pada level kecurigaan. Saya pun berani bertanya motif dari pengunduran dirinya itu.

Alasannya sederhana. Dia ingin mencari pengalaman baru. Padahal, sebelumnya dia sudah menjalin kontak dengan perusahan yang mempunyai bidang jasa yang hampir sama dengan perusahan yang ditinggalkannya. Perbedaannya, pekerjaannya itu hanya berkutat di dalam negeri dan tidak terlalu ke luar negeri.

Menurutnya, perjalanan ke luar negeri menyita energi dan waktu. Apalagi dia mempunyai dua orang anak yang masih kecil. Suaminya juga sering bertugas keluar kota. Paling tidak, dengan pekerjaan barunya itu, dia akan lebih sering mempunyai waktu akhir pekan dengan kedua anak mereka.

Alasannya ini bisa menjawabi pertanyaan dan meruntuhkan kecurigaan banyak orang. Toh, pengunduran diri bukanlah sesuatu yang buruk. Itu merupakan bagian dari sebuah pilihan hidup.

Keputusan selalu terlahir dari sebuah pertimbangan. Pertimbangan itu biasanya terbangun oleh dua kutub. Kutub untung dan kutub rugi.

Saya ingat seorang teman yang mau mengundurkan diri dari pendidikan SMA, sekolah berasrama. Alasannya, dia sudah tidak tahan tinggal di sekolah berasrama. Baginya, aturan dan cara hidup terlihat membebankannya.

Lantas, pemimpin sekolah berasrama memintanya untuk melakukan pertimbangan. Pertimbangannya adalah melihat keuntungan tinggal di sekolah berasrama dan kerugian kalau keluar dari sekolah berasrama tersebut. Hasil pertimbangannya itu mesti dituliskan dalam sebuah kertas.

Setelah sepekan, dia malah menemukan banyak keuntungan untuk tinggal di sekolah berasrama daripada kerugiannya. Jadinya, dia pun menangguhkan keputusannya untuk keluar. Bahkan dia berhasil menyelesaikan pendidikan di sekolah berasrama itu hingga selesai.

Motif pengunduran diri juga bermacam-macam. Memang ada yang mengundurkan diri karena kehendak bebas. Tanpa paksaan dan tekanan. Umumnya, alasan dari pengunduran diri seperti ini adalah ingin mencari pengalaman baru.  

Tetapi, ada pula yang harus mengundurkan diri karena desakan dan tekanan pihak-pihak tertentu. Karena tidak kuat pada desakan publik dan di tempat kerja, yang bersangkutan mesti memutuskan untuk mengajukan pengunduran diri.

Misalnya, peristiwa pengunduran diri Menteri Keadilan Korea Selatan, Cho Kuk pada tahun 2019. Melansir berita dari New York Times (14/10/2020), pengunduran Cho Kuk dari jabatan menteri dinilai menjawabi desakan dan tuntutan publik di Korea Selatan. Desakan dan tuntutan publik itu dilatari oleh kehidupan Cho Kuk.

Saya kira ini adalah keputusan yang perlu dihargai. Pasalnya, untuk apa bertahan di posisi tertentu, sementara publik tidak menghendaki.

Keputusan untuk tetap bertahan tidak hanya mengancam stabilitas tempat kerja, tetapi itu juga akan semakin mencoreng reputasi. Sebaliknya, pengunduran diri bisa menjadi kesempatan untuk memperbaiki diri dan menjalankan kehidupan yang baru.

Motif pengunduran diri juga bisa terjadi karena faktor kepentingan dan persoalan yang terjadi di lingkungan pekerjaan.

Misalnya, salah satu keputusan pengunduran diri dari anggota kabinet di pemerintahan Filipina pekan lalu. Adalah Ernesto Pernia yang menjabat sebagai Menteri mengajukan pengunduran dari jabatannya di bidang Rencana Sosio-ekonomi. Alasannya, karena dia merasa adanya ketidakcocokan dengan rekan-rekan di kabinet (gmanetwork.com 17/4/2020).

Pengunduran diri merupakan sebuah pilihan. Pilihan ini terlahir pertimbangan dari dalam diri maupun pertimbangan dari luar.

Makanya, tentang pengunduran diri stafsus milenial, Ahamas Belva Devara dan Andi Taufan Garuda Putra. Keputuran mereka mesti dihargai. Itu merupakan pilihan mereka, entah apa pun motif di balik pengunduran diri mereka itu. Toh, pengunduran diri itu juga menunjukkan kesediaan hati mereka untuk meninggalkan tugas yang terbilang mengkilap untuk banyak orang.

Tidak jarang terjadi, pengunduran diri kerap menghadirkan kecurigaan. Kecurigaan itu dilatari karena ketidaktahuan pada motif dan alasan di balik keputusan pengunduran diri. Banyak orang berupaya mencari jawaban di balik pengunduran diri tersebut.

Hemat saya, pengunduran diri akan menjadi sebuah pilihan yang dihargai kalau motif dan alasannya bisa dijelaskan. Klarifikasi dibutuhkan agar pikiran anggota keluarga, teman kerja dan orang lain tidak mengambang pada kecurigaan.

Kalau ada klarifikasi tentang pengunduran diri itu, orang cenderung menghargai pilihan tersebut. Bahkan pilihan itu bisa menjadi pelajaran bagi orang lain.

Dalam mana, pilihan mengundurkan diri dari sebuah pekerjaan bukanlah akhir dari karir. Malahan, itu menjadi titik tolak untuk memulai perjalanan hidup yang baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun