Barangkali awalnya, belajar di rumah menjadi kesempatan emas dan tantangan menarik bagi setiap orangtua. Itu merupakan kesempatan untuk belajar bersama.
Apalagi, orangtua juga diharuskan untuk tinggal di rumah. Efeknya, orangtua bisa tahu dan mengenal secara langsung bagaimana anak mereka menggeluti pelajaran sekolah di rumah.
Tantangannya, orangtua mesti menempatkan diri mereka sebagai seorang guru. Meski sejatinya, orangtua selalu diposisikan sebagai "guru pertama" bagi anak, tetapi dari segi profesionalitas dan skill, orangtua tetap terbatas. Terbatas karena tidak mengenyam pendidikan khusus sebagai seorang guru.
Makanya, seorang yang berprofesi sebagai guru atau pernah berpengalaman sebagai guru mempunyai kemampuan berbeda dalam menjelaskan dan meyakinkan orang banyak. Ada skill yang tidak terbangun dalam tempo yang singkat. Â
Bukan masalah kalau orangtua berprofesi sebagai guru. Pastinya, teknik dan pendekatan yang dimainkan di sekolah ikut juga dimainkan di rumah bersama dengan anak-anak. Situasi berbeda dengan mereka yang tidak mempunyai pengalaman mengajar sebagai seorang guru.
Setelah beberapa pekan, seorang teman kewalahan dengan sistem belajar di dan dari rumah. Awalnya semangat. Perlahan, semangat itu mengendur. Anak terlihat bosan dengan pendekatan yang sama setiap hari.
Di lain pihak, orangtua tidak tahu apa yang mau dibuat. Hilang kreativitas. Meski suami-istri berprofesi sebagai ASN, namun pekerjaan sebagai guru bukanlah bidang yang digeluti oleh dia dan istrinya.
Sebagai solusinya, dia memanggil orangtuanya yang tinggal di kampung. Kebetulan sekali, kedua orangtuanya adalah pensiunan guru.
Kedua orangtuanya ini menjadi guru untuk kedua anak mereka bersama tiga orang keponakan selama masa liburan. Walau konteks dan pendekatan berbeda antara murid jaman sekarang dan masa lalu, tetapi paling tidak pendekatan konvensional masih berlaku hingga saat ini.
Pendekatan konvensional itu berupa guru berdiri di depan dan menjelaskan bahan yang diajarkan. Kalau ada kesempatan, guru akan bertanya dan meminta pertanyaan dari murid.
Mungkin situasi agak berbeda. Murid jaman sekarang akan cenderung bertanya dan bahkan protes pada penjelasan guru. Kalau di jaman dulu, murid cenderung tunduk pada penjelasan guru di depan dan patuh kalau ditanyakan.
Situasi menjadi berbeda. Orangtuanya yang merupakan mantan guru mampu mengendalikan situasi. Tanpa google dan media lain, orangtuanya bisa menjelaskan bahan-bahan yang diajarkan di sekolah.
Mengajar sudah menjadi bagian dari hidup mereka sekian puluh tahun. Mereka pastinya sudah makan garam dalam mendekati setiap murid yang berasal dari generasi dan latar belakang yang berbeda.
Pada akhirnya, solusi kehilangan kreativitas orangtua bisa diatasi. Anak-anak terlihat antusias karena mereka mungkin mereka merasakan sosok guru yang sebenarnya. Anak-anak mendapat asupan pelajaran, walau dengan pendekatan yang sederhana tanpa melibatkan google atau menonton TV.
Orantua Kehilangan Kreativitas, Alasannya?
Persoalan mengajar dari rumah ini memang menantang. Tantangannya pada kreativitas orangtua. Kreativitas itu mengenai kemampuan orangtua menyajikan dan meyakinkan anak tentang pelajaran yang digeluti.
Segala sesuatunya sebenarnya sudah tersedia di internet. Ada pelbagai pelajaran lewat menonton program YouTube. Â Hari-hari terakhir ini juga, TVRI menayangkan pelajaran sekolah untuk para siswa.
Saya kira mediumnya yang berbeda saja dengan internet. Pindah medium dari internet ke TV. Cara penyampaiannya mungkin sama. Bahkan cara penyampaian lewat YouTube mungkin terlihat lebih menarik daripada di TV.
Tetapi, apakah itu bisa menjawabi persoalan belajar di rumah?
Kreativitas orangtua tetap menjadi poin terdepan. Toh, siapa yang mengontrol anak belajar di rumah. Orangtualah yang berada bersama anak di rumah. Tuntutannya, kreativitas orangtua dalam membantu anak mencerna pelajaran lewat TV maupun internet.
Tidak heran, orangtua bisa menjadi sebab persoalan dari gagalnya belajar di rumah. Orangtua tidak mempunyai persiapan khusus menjadi seorang guru. Orangtua mungkin menyebut diri mereka sebagai guru. Tetapi, sebutan guru itu mempunyai keterbatasan.
Sejatinya, guru yang mengajar di sekolah disiapkan sekian tahun lewat pendidikan formil. Pendikan formil itu melingkupi bidang yang diminati oleh seseorang. Kalau berminat pada pada bidang Matematika, dia pastinya akan fokus pada bidangnya itu.
Bahkan dalam perjalanan waktu sebagai guru, metode dan pendekatan dalam mengajar ikut berevolusi. Skill mengajar juga ikut terbentuk.
Sementara itu, orangtua hanya berada pada lanskap dan waktu terbatas. Tugas orangtua mungkin sebatas pada perilaku moral anak, membantu mengecek pekerjaan rumah, sesekali mengecek pelajaran di sekolah, dan pelbagai fungsi administrasi demi kepentingan sekolah anak.
Situasi berbanding terbalik saat ini. Orangtua seolah bermain peran penuh. Harus menjadi guru bagi anak-anak. Menjadi guru yang bisa mempresentasikan, menjelaskan dan meyakinkan anaknya sendiri tentang bahan dari sekolah. Tugasnya tidak sederhana. Butuh kemampuan khusus.
Kemampuan itu sendiri bukan sekali jadi. Bayangkan saja, seorang yang menggeluti profesi menjadi guru mesti bersekolah 4-5 tahun untuk meraih gelar Sarjana Kependidikan. Sejatinya, pendidikan ini juga dibaluti dengan bakat atau passion mengajar.
Selain itu, mereka juga ditempa dengan pengalaman mengajar bertahun-tahun. Jadi, guru itu sebuah panggilan hidup yang tidak semua orang bisa menggelutinya.
Tidak heran, orangtua kehilangan kreativitas dengan sistem belajar dari rumah. Media tidak bisa menjawabi keterbatasan orangtua.
Bandingkan dengan  para guru yang mengajar tanpa menggunakan media seperti Powerpoint, Google, TV, dan media tertentu. Mereka tetap bisa menyajikan bahan dengan baik. Bahkan para siswa lebih mengerti dengan baik bahan yang disajikan daripada lewat media internet.
Pada titik ini, kita pun menyadari tentang profesi seorang guru di sekolah. Tidak gampang. Karena kesadaran ini, kita patut menghargai kerja mereka.
Saya yakin guru juga mempunyai kesulitan dan tantangan seperti yang dialami oleh sebagian besar orangtua saat ini. Kesulitan dan tantangan dalam menyortir bahan kepada para siswa di sekolah.
Lebih sulit lagi karena mereka bukan hanya satu, dua, sampai tiga siswa bergantung jumlah anak, tetapi banyak orang. Banyak orang dengan karakter yang berbeda-beda.
Belajar di rumah sekiranya membuka mata tentang makna profesi sebagai guru. Untuk apa menuntut guru kalau kita sendiri tidak bisa menjadi guru yang baik bagi anak-anak.
Sebaliknya, kita coba memahami ternyata profesi guru itu mempunyai pelbagai tantangan dan kesulitan. Tantangan dan kesulitan itu ikut membentuk kualitas seorang guru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H