Salah satu alasannya adalah tanggung jawab moral untuk melindungi kaum ini dari kekerasan verbal (Hermie Monterde, rappler.com 17/8/2019).
Dalam konteks kasus LL, ini bisa menjadi hal serius untuk dipertimbangkan. LL memang terlahir sebagai seorang pria. Tetapi, orientasinya dan identitas sudah terbentuk sebagai seorang perempuan.
Penempatan LL pada sel untuk laki-laki bisa berdampak pada mentalitas dan psikologisnya. Dia mungkin merasa tidak nyaman dan merasa identitasnya sebagai kaum transgender dilecehkan.
Atau juga, perlunya menjaga kemungkinan lain seperti pelecehan baik itu verbal maupun fisik pada LL kalau ditempatkan bersama tahanan pria.
Pertimbangan-pertimbangan ini bisa menjadi acuan agar LL yang berstatus sebagai tersangka dan tahanan polisi tetap dihargai identitasnya dan martabatnya sebagai kaum transgender.
Lebih jauh, persoalan LL bisa menjadi pemikiran lanjut menyikapi kelompok LGBT yang berada di sekitar kita.
Dalam arti, negara perlu melihat ruang dan tempat agar kaum LGBT ini tidak merasa disingkirkan dan dilecehkan tetapi mereka merasa diri diterima sebagai bagian dari negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H