Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mentalitas "Jam Karet", Pembiaran dan Pembelaan Diri pada Ketidaktepatan Waktu

28 Januari 2020   06:20 Diperbarui: 28 Januari 2020   10:25 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengaturan waktu menjadi bagian yang sangat penting bagi jadwal hidup harian. Dalam satu hari, setiap orang sekiranya sudah mengdistribusikan waktunya seturut porsi kegiatan hidup harian.

Misalnya, ada waktu istirahat dan ada pula waktu bekerja. Ada waktu bersama keluarga dan ada pula waktu di luar rumah.

Prinsipnya, ada alokasi waktu untuk setiap kegiatan yang berlangsung selama sehari. Jadinya, hidup tidak menjadi monoton.

Orang yang sudah terbiasa mengikuti pola hidup dengan aturan yang teratur setiap hari bisa menjadi bingung, kecewa dan bahkan marah saat pola hidup harian diubah. Perubahan itu terjadi karena ketidakdisiplinan pihak tertentu atau juga karena faktor situasi yang berbeda.

Ada juga orang yang begitu sensitif dengan ketepatan waktu. Keterlambatan bukan bagian dari kamus aturan hidup harian mereka.

Saat mereka terlambat, mereka cenderung akan menyesali dengan keterlambatan tersebut. Atau mereka juga akan marah dan kecewa dengan pihak yang menjadi penyebab dari keterlambatan tersebut.

Di balik pola hidup dengan jadwal hidup yang teratur dan tepat waktu, ada juga sekelompok orang yang hidup menurut pola aturan waktu yang tidak teratur.

Mereka tidak mempunyai waktu yang jelas dan teratur. Terlambat bukanlah persoalan. Saat terlambat mereka akan berdalil dengan pelbagai alasan.

Salah satu alasan yang selalu saya jumpai adalah mentalitas "jam karet."

Karet merupakan benda yang elastis. Karena elastis, karet gampang ditarik seturut kemauan kita.

Saat diasosiakan dengan waktu, yakni "jam karet," jadinya waktu pun gampang ditarik dan diatur seturut kemauan dan situasi.

Mentalitas jam karet ini mungkin tidak terjadi di seluruh konteks Indonesia. Istilah mentalitas jam karet ini saya jumpai untuk segelintir orang dalam konteks kami di Manggari, Flores, NTT.

Meski tidak semuanya menghidupi mentalitas ini, tetapi ada segelintir orang yang menghidupi mentalitas ini.

Mentalitas jam karet ini nampak saat orang terbiasa dengan keterlambatan dan tidak tepat waktu dalam menghadiri sebuah kegiatan.

Contohnya, saat ada sebuah kegiatan dan waktunya sudah disepakati bersama. Namun pada kenyataannya, banyak yang terlambat dan tidak tepat waktu. Namun orang memahami hal itu dan berusaha memakluminya dengan beralasan mentalitas jam karet.

Jadinya, ketidaktepatan waktu bukan menjadi persoalan yang tidak perlu disikapi secara serius. Dengan kata lain, orang umumnya sudah menerima dan memahami situasi tersebut.

Bahkan tidak jarang juga terjadi kalau kesepakatan mengatur jadwal dan waktu sebuah kegiatan bergantung pada mentalitas jam karet tersebut.

Misalnya, saat sebuah acara disepakati untuk berlangsung pada jam tertentu. Tetapi di balik kesepakatan itu ada juga awasan berupa mentalitas jam karet yang memungkinkan orang terlambat. Orang pun membuat jadwal lebih awal dari waktu yang seharusnya karena penyelenggara sudah tahu banyak yang akan datang terlambat.

Kalau jadwal kegiatan jam 10 pagi, penyelenggara sengaja menyampaikannya jam 9 pagi dengan pertimbangan mentalitas jam karet. Saat banyak yang terlambat, kegiatan pun bisa diundur hingga jam 10 sebagai waktu yang sudah ditentukan penyelenggara.

Mentalitas jam karet ini secara umum berlaku bagi siapa saja yang tidak tepat waktu. Jadwal sudah ditetapkan tetapi selalu terlambat dan tidak tepat waktu.

Ada kegiatan bersama dan orang selalu beralasan kegiatan itu diundur karena mentalitas jam karet yang dihidupi di masyarakat.

Di balik pandangan seperti ini, saya kira berdiam sebuah pembiaran dan pembenaran ketidaktepatan waktu.

Memaklumi mentalitas jam karet hanya menciptakan pembiaran dan pembenaran dari sebuah kebiasaan selalu terlambat dan tidak tepat waktu menghadiri sebuah kegiatan. Orang pun menjadi tidak merasa bersalah saat terlambat.

Kalau tidak dikontrol, ketidaktepatan waktu menjadi kebiasaan pribadi dan sosial. Terlambat pun ditolerir. Ujung-ujungnya, pola hidup harian secara pribadi dan masyarakat menjadi tidak teratur.  

Persoalannya saat berhadapan dengan orang dan sistem yang sudah menghidupi kedisiplinan dalam mengatur waktu. Bisa saja terjadi konflik antara mentalitas jam karet dan yang terbiasa hidup dalam aturan yang teratur.

Di era yang selalu menuntuk kecepatan seperti saat ini, mentalitas jam karet bukanlah jawaban dari pola hidup sosial. Yang tidak tepat waktu dan disipilin mengatur waktu akan kalah dalam sebuah kompetesi. Sementara yang tepat waktu dalam memanfaatkan waktu selalu berakhir sebagai pemenang dari sebuah kompetesi.

Mentalitas "jam karet" merupakan salah satu tatangan dalam tatanan hidup sosial. Mentalitas ini tidak boleh dibiarkan. Mentalitas ini hanya menjadi penghambat sebuah produktivitas di dalam sebuah komunitas sosial.

Dengan kata lain, ketepatan waktu dan hidup disipilin mesti ditegakkan. Setiap orang sekiranya berjalan seturut aturan yang telah disepakati. Lantas, siapa yang memulai untuk menghancurkan mentalitas jam karet?

Hemat saya, salah satunya adalah pemimpin. Pemimpin itu hadir dalam rupa para pemimpin pemerintahan, politik dan agama.

Saya teringat cerita tentang kisah seorang pastor yang berasal dari Jerman dan bertugas di Flores. Mentalitas dari negaranya, Jerman mengedepankan kedisiplinan waktu yang tinggi. Pada setiap pelayanan yang dilakukannya, sang pastor selalu datang sebelum waktu yang disepakati dan melakukan pelayanan dengan tepat waktu.

Sang pastor tidak peduli berapa banyak orang yang sudah hadir. Sedikit ataukah banyak, dia akan memulai pelayanannya. Karena kebiasaan ini, masyarakat pun dipompa untuk datang tepat waktu seturut waktu yang telah disepakati.

Kalau setiap pemimpin datang tepat waktu dan memulai kegiatan seturut waktu yang telah diatur, mentalitas jam karet bisa dihapuskan. Masyarakat pastinya akan mengikuti kebiasaan seorang pemimpin.

Tetapi kalau para pemimpin menjadi pihak yang selalu terlambat dan mengikuti ritme mentalitas masyarakat yang tidak tepat waktu, mentalitas jam karet malah tidak akan terhapus dari konteks hidup masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun