Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

HIV/AIDS, Dampak Sosial dan Pentingnya Membangun Relasi yang Sehat

1 Desember 2019   21:30 Diperbarui: 1 Desember 2019   21:26 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kalangan masyarakat Manggarai dan mungkin Flores, NTT pada umumnya, HIV/AIDS (masih) dinilai sebagai momok yang cukup menakutkan.

Saat seorang diketahui menderita HIV/AIDS, ada pelbagai macam interprestasi yang muncul.

Interprestasi itu bukan saja tentang penyakit tersebut dan sebabnya, tetapi juga tentang kepribadian dari orang yang menderita penyakit itu. 

Ada banyak spekulasi yang menyeruak tentang kepribadian dari penderita. Secara umum, penderita akan dinilai sebagai pribadi yang tidak benar. Apalagi kalau yang bersangkutan sudah berkeluarga.

Bahkan saat yang menderita penyakit itu sudah mempunyai latar belakang yang negatif di mata masyarakat, mereka seolah membenarkan apa yang telah terjadi itu. Pendeknya, masyarakat tidak hanya menilai penyakitnya saja, tetapi juga menyangkut kepribadian dari penderita.

Akibat lanjutnya, bukan hanya penderita yang mesti merasa malu dan terbebankan, tetapi juga keluarga dari penderita.

Karenanya, seringkali terjadi kalau keluarga penderita berusaha menyembunyikan sakit dari penderita dengan menyebut penyakit lainnya. Atau mereka akan menyembunyikan perawatan dari penderita dari pandangan mata orang lain.

Upaya ini terlahir karena anggapan kalau HIV/AIDS merupakan penyakit yang sulit diterima oleh lingkup sosial pada umumnya.  

Masih terekam dalam ingatan saya kalau di tahun 90-an, HIV/AIDS selalu melekat dengan orang-orang yang datang dari luar. Yang membawa penyakit ini adalah orang-orang yang pergi merantau. Mereka pulang karena menderita HIV/AIDS. Bahkan ada yang tidak menyadarinya hingga terjangkit pada orang lain. Apalagi kalau mereka yang sudah berkeluarga. Mereka baru menyadarinya saat mengecek di rumah sakit.

Saat seorang menderita penyakit ini, dia serta merta mendapat sanksi sosial. Mereka akan dipinggirkan dari masyarakat pada umumnya.

Bahkan tidak sedikit keluarga dan masyarakat yang menjauhkan penderita di tempat terpisah dari pemukiman penduduk. Mereka hidup sendiri dengan perawatan seadanya.

Saya masih ingat penderita yang mesti tinggal di kebun hanya karena menderita HIV/AIDS. Keluarga akan datang kalau ingin memberikan suplai makanan dan kebutuhan lainnya. secara umum, penderita akan mengalami keterpisahan dari konteks sosial.

Jadi penderita sakit HIV/AIDS tidak hanya menderita secara fisik, tetapi dia juga teraleniasi secara sosial.

Hal ini terjadi karena asumsi kalau HIV/AIDS gampang terjangkit. Apa pun yang bersentuhan dengan penderita HIV/ AIDS bisa menjadi medium yang bisa mengtransfer penyakit ini.

Padahal sebenarnya tidak seperti itu. Ada hal-hal yang bisa menjadi penyebab terjangkiti HIV/AIDS dan ada yang tidak. Semua pandangan ini terjadi karena minimnya sosialisasi tentang HIV/AIDS bagi masyarakat. mungkin salah satu materi sosialisasi tentang HIV/AIDS mesti juga bertujuan untuk meluruskan pola pikir yang salah.

Hemat saya, salah satu cara untuk mengatasi HIV/AIDS ini bisa berawal dari relasi sosial. Dengan ini, seorang mesti tahu bagaimana membangun relasi sosial yang sehat dan positif. Salah satu medium membangun relasi sosial itu bermula dari relasi suami dan istri.

HIV/AIDS secara tidak langsung merupakan buah dari relasi yang salah. Secara umum, kalau seorang membangun relasi yang sehat dan positif, dia tidak akan terjangkiti oleh persoalan itu.

Jika Relasi suami dan istri kalau dijaga dengan baik, persoalan HIV/AIDS tidak akan terjadi. Meski suami dan istri tinggal berjauhan, kalau mereka setia pada janji mereka, relasi yang tidak sehat bisa dihindari.

Dengan kata lain, kalau setiap orang setia pada pasangan yang satu dan sama, persoalan HIV/AIDS bisa dihindari. Jadi, untuk mencegah HIV/AIDS bermula dari relasi. Bangunlah relasi yang positif. Relasi yang positif itu nampak salah satunya pada kesetiaan pada pasangan yang satu dan sama.

Selain itu, untuk konteks Indonesia secara umumnya, relasi intim pra nikah yang tidak dianjurkan mesti dipandang sebagai momen yang perlu digarisbawahi kalau dihubungkan dengan bahaya HIV/AIDS. Sebaiknya perlu membangun relasi intim saat sudah menikah dan sangat dianjurkan untuk berani mengecek setiap pasangan di rumah sakit tentang HIV/AIDS.

Kedua pasangan mesti berani terbuka dan mengecek kesehatan mereka. Ini bisa mengantisipasi kalau saja ada yang sudah terjangkiti. Tetapi kalau belum, keduanya pun mesti selalu menjaga relasi yang sehat dan positif di antara satu sama lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun