Barangkali di antara kita familiar dengan sekolah yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Sebuah sekolah menyiapkan fasilitas asrama khusus bagi yang mengenyam pendidikan di sekolah tersebut.
Asrama berada di dalam kompleks sekolah dan para siswa tidak diperkenankan untuk tinggal di luar dari kompleks asrama sekolah tersebut.
Di pulau Flores, NTT, sekolah berasrama ini hadir dalam beberapa rupa. Salah satu rupa yang popular adalah sekolah seminari.
Sekolah seminari adalah pendidikan khusus untuk calon pastor atau pemimpin agama Katolik. Sekolah itu pun hanya dikhususkan untuk kaum laki-laki.
Beberapa sekolah seminari mewajibkan seorang anak laki-laki masuk seminari setelah tamat Sekolah Dasar. Konsekuensi, dia mesti tinggal di asrama yang telah disiapkan dan mesti tinggal terpisah dari keluarga. Paling tidak, mereka bisa bertemu dengan keluarga di waktu yang sudah ditetapkan dalam aturan atau juga di waktu liburan.
Kehidupan di asrama mempunyai koneksi erat dengan pendidikan di sekolah. Kehidupan di asrama memberikan kontribusi untuk pendidikan di sekolah dan begitu pun sebaliknya.
Selain pendidikan sekolah berasrama dalam rupa seminari, ada juga sekolah berasrama yang memadukan antara laki-laki dan wanita. Pihak sekolah menyediahkan asrama khusus untuk laki-laki dan ada juga asrama khusus untuk perempuan.
Sarana prasarana ini pun berada dalam satu kompleks. Setiap asrama mempunyai pendampingnya masing-masing. Biasanya pendamping laki-laki untuk asrama putera dan asrama puteri didampingi oleh pendamping perempuan. Secara umum aturannya sama.
Seperti sistem pendidikan di sekolah seminari, sekolah dan asrama mempunyai hubungan antara satu sama lain.
Sekolah berasrama seperti ini juga kerap menjadi pilihan bagi orangtua di Flores pada umumnya. Masih kuat dalam pandangan orangtua kalau menempatkan anak pada sekolah berasarama adalah salah satu metode mendidik anak ke arah yang lebih baik.
Pandangan seperti ini tentunya hadir karena sudah menyaksikan output-output dari sekolah berasarama itu. Makanya orangtua kerap berusaha mendorong dan mengarahkan anak-anak mereka ke sekolah berasrama.
Salah satu alasan di balik pilihan orangtua itu juga adalah menimbang model pendidikan yang diterapkan dalam sekolah berasrama. Metode Pendidikannya itu tidak berhenti di dunia sekolah, tetapi hal itu terus dibangun dalam kehidupan di asrama.
Selain itu, anak-anak dilatih mandiri. Kalau seorang anak masuk setelah tamat SD, maka sejak saat itu dia mesti membiasakan diri dengan kehidupan di asrama yang mempunyai aturan hidup tersendiri dan juga mengedepankan kemandirian setiap individu. Dengan ini, mau tidak mau mereka mesti melepaskan diri dari keterikatan dari kehidupan di keluarga.
Asrama mempunyai aturan hidup harian. Aturan itu dihubungkan dengan kegiatan sekolah. Jadinya, aturan asrama dan sekolah berjalan bersama-sama. Â
Alur aturan di sekolah dan asrama diatur sedemikian agar menciptakan dinamika hidup harian. Dinamika hidup harian itu sekirannya bisa menciptakan seorang pribadi yang berkualitas.
Salah satu sekolah berasrama yang familiar di wilayah Manggarai, Flores adalah SMP-SMA ST. Klaus, Kuwu, Ruteng, Manggarai.
Sekolah ini dibangun oleh salah seorang Pastor Katolik asal Swiss, Pastor Ernest Wasser, SVD. Sekolah ini hanyalah salah satu dari beberapa sekolah berasrama yang dibangun oleh Pastor yang telah mengabdi puluhan tahun di Manggarai, Flores ini.
Pastor Ernest Wasser merupakan salah satu figur penting membangun sekolah berasrama di wilayah Manggarai. Dia tidak hanya membangun fasilitas sekolah dan asrama untuk putera dan puteri, tetapi juga dia membangun iklim belajar yang cocok untuk model sekolah berasrama untuk konteks Manggarai secara umum.
Sumbangsih dari Pastor Ernest ini sangat besar untuk metode pendidikan sekolah berasrama. Metode pendidikan itu menjadi alternatif bagi banyak masyarakat untuk mengirimkan anak-anak pada pendidikan yang berkualitas.
Berkat sistem dan metode pendidikan yang dibangun lewat sekolah berasrama ini, banyak tamatan yang berhasil menempuh pendidikan lanjut saat tamat dari pendidikan sekolah berasrama seperti dari level SMP-SMA.
Alhasil model sekolah berasrama pun menjadi perhatian dari banyak orang. Saya masih ingat saat mendaftarkan diri di sekolah berasrama ini. Jumlahnya ratusan orang. Seleksi dibuat berdasarkan nilai akhir ujian SD. Waktu saya mendaftar di tahun 90-an, sistem NEM (Nilai Ebtanas Murni) menjadi salah satu tolok ukur dalam menyeleksi seorang siswa.
Tidak hanya itu, setiap cawu, saat sistem semester belum berlaku, para siswa diseleksi. Proses seleksi pun tidak hanya melibatkan evaluasi dari  proses belajar di sekolah, tetapi juga berdasarkan evaluasi perkembangan kepribadian di asrama.
Makanya tidak jarang terjadi, meski secara intelektual bagus di sekolah, tetapi kalau kepribadiannya tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan, yang bersangkutan bisa diperingatkan dan bahkan dikeluarkan.
Di balik seluk beluk kehidupan sekolah berasrama, setiap orang pastinya mempunyai cerita dan pengalaman yang berbeda. Ada pengalaman sukacita karena berhasil melewati jenjang pendidikan dalam masa waktu yang ditentukan.
Sukacita juga terlahir saat bertemu dengan teman baru  dari pelbagai daerah dan dengan mereka membangun persahabatan untuk sekian waktu. Sebagian besar membangun persahabatan sejak SMP hingga tamat di bangku SMA.
Ada pula kisah sedih karena harus meninggalkan rumah dan keluarga untuk pertama kali. Kesedihan ini terjadi karena harus keluar dari zona nyaman menuju tempat baru.
Ada juga pengalaman sedih saat beberapa teman dikeluarkan karena melakukan kesalahan yang sangat sensitif. Persahabatan harus berakhir karena aturan menentukannya.
Pendeknya, ada rupa-rupa yang terjadi sewaktu mengalami sekolah berasrama. Satu garis besar dari pengalaman-pengalaman itu adalah sekolah berasrama selalu memberi kenangan bagi siapa saja yang pernah tinggal dan mengalaminya.
Kenangan itu hadir lewat kisah dan tingkah laku setiap alumni. Setiap individu pastinya mempunyai pengalaman-pengalaman bermakna saat berada di sekolah berasrama.
Kalau pengalaman bermakna itu ada, tinggal di sekolah berasrama pun bukanlah pengalaman yang sia-sia.
Saya juga yakin kalau pengalaman-pengalaman di sekolah berasrama memberikan kontribusi pada pertumbuhan dan perkembangan seorang individu menjadi pribadi yang berkualitas. Karena itu, sekolah berasrama selalu dikenang karena nilai dan makna yang ditimbah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H