Karenanya, saya melihat keluarnya wacana sertifikat perkawinan ini tidak semata-mata sebagai upaya untuk masuknya negara pada ranah pribadi dari warga negara.
Tetapi pada titik ini, negara kelihatannya melihat persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat mesti didekati lewat dan dari dalam institusi keluarga.
Seperti yang saya katakan di atas kalau keluarga adalah institusi penting dalam kehidupan sosial. Tidak bisa dibayangkan kalau kehidupan berkeluarga hancur lebur. Pasti dampaknya sangat berpengaruh besar bukan hanya orang-orang yang ada dalam keluarga tersebut tetapi juga  dalam konteks kehidupan sosial yang lebih luas.
Karena itu, wacana sertifikasi perkawinan mesti dilihat sebagai upaya untuk memecahkan persoalan negara lewat institusi keluarga.
Persoalan-persoalan negara yang bisa dipecahkan lewat institusi keluarga, seperti pengetahuan alat reproduksi, pengetahuan tentang penyakit-penyakit berbahaya, pendidikan anak dan lain sebagainya.
Lewat program yang diwacanakan untuk dibuat selama tiga bulan sekiranya menjadi bekal bagi pasangan baru untuk memaknai kehidupan berkeluarga.
Meski demikian, negara juga mesti tahu demarkasi yang jelas antara porsi negara dan institusi lain, seperti misal institusi agama.
Dalam arti, aturan dan pengetahuan yang diberikan oleh negara lewat program sertifikasi perkawinan tidak menjadi batu sandungan bagi pengetahuan dan pemahaman yang dibangun oleh institusi agama seperti Gereja.
Karena kalau terjadi bentrokan konten dari progam antara negara dan institusi lain, bisa jadi adanya persoalan tentang pemahaman atas makna pernikahan itu sendiri.
Karena itu, peran institusi agama dalam konteks ini sangatlah penting agar menghindari bentrokan di antara kedua pihak. Dengan kata lain, negara dan agama bisa saling melengkapi dalam menyiapkan program ini.
Sertifikasi perkawinan mungkin wacana yang baru untuk konteks kita pada umumnya. Tetapi kita bisa berusaha untuk mencerna wacana ini dalam konteks upaya negara dalam mendidik dan mengayomi warga negara.