Mohon tunggu...
Donyawan Maigoda
Donyawan Maigoda Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer | Novelis| SEO Writer| Owner PT Xinxian Boba Indonesia

Hanya manusia biasa yang hobi menulis saat sedang gabut

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Demokrasi di Ujung Lidah

21 Agustus 2024   20:51 Diperbarui: 21 Agustus 2024   21:02 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Neofelix sebuah kota yang berdiri megah dengan perpaduan arsitektur modern dan tradisional, mencerminkan harmoni antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai budaya. Terletak di tengah-tengah dataran luas yang dikelilingi oleh pegunungan hijau, Neofelix menawarkan pemandangan alam yang menakjubkan sekaligus kehidupan perkotaan yang dinamis.

Namun malam itu, di sebuah restoran mewah di sudut kota, suasana terasa begitu berbeda. Lampu kristal yang bergantung di langit-langit memancarkan cahaya keemasan, menerangi meja-meja yang tertata rapi dengan taplak putih bersih. 

Di ruangan VIP yang terletak di bagian belakang, suasana jauh dari kesan santai. Beberapa pria dengan jas mahal duduk mengelilingi meja oval besar, wajah mereka serius, bibir terkunci rapat.

Pak Budi, seorang politikus senior dari partai terbesar di negeri ini, duduk di ujung meja. Usianya sudah tidak muda lagi, namun sorot matanya tajam, seperti elang yang siap menerkam mangsa. Di depan para koleganya, Pak Budi memulai pembicaraan yang sudah lama mereka hindari, tapi kini tak bisa lagi diabaikan.

"Saya rasa kita semua sepakat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini sungguh di luar dugaan," kata Pak Budi, membuka pertemuan dengan suara rendah namun penuh penekanan. "Mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah... itu artinya, membuka peluang bagi partai-partai kecil untuk ikut bermain di wilayah kita. Ini jelas ancaman bagi kita semua."

Beberapa anggota dewan lainnya mengangguk pelan. Mereka tahu, di balik kata-kata Pak Budi, tersimpan ketakutan akan kehilangan kendali. Dominasi partai besar yang selama ini tak tergoyahkan, kini terancam oleh keputusan yang tiba-tiba dan tak terduga.

Pak Yudi, seorang politisi muda yang ambisius dari partai koalisi, mengangkat tangan dan berdehem. "Tapi, Pak Budi, bukankah ini bagian dari demokrasi? Kita seharusnya... membiarkan partai-partai kecil ikut berkompetisi, bukan?"

Suara tawa ringan terdengar dari ujung meja. Pak Budi menatap Pak Yudi dengan senyum penuh arti. "Yudi, anak muda sepertimu memang sering kali terlalu idealis. Demokrasi, ya... tapi demokrasi macam apa? Kita tidak bisa membiarkan kekuasaan kita tergoyahkan begitu saja. Jika kita kehilangan kendali di daerah, bagaimana kita bisa melanjutkan program-program kita?"

Pak Yudi terdiam, menyadari kesalahannya. Pak Budi melanjutkan, "Inilah saatnya kita bertindak. Kita harus mencari cara untuk menganulir keputusan ini. Kita tidak bisa hanya duduk diam dan melihat partai-partai kecil merusak apa yang sudah kita bangun selama ini."

Diskusi pun berlanjut, semakin serius. Mereka mulai merumuskan strategi, mencari celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk membatalkan putusan MK tersebut. Di atas meja, mereka berbicara tentang "keadilan" dan "kesejahteraan rakyat," tetapi di dalam hati, niat mereka hanya satu: mempertahankan kekuasaan dan menghalangi siapa pun yang berani menantang mereka.

Dalam gemerlap cahaya restoran, para politikus ini berbicara tentang demokrasi, namun yang mereka maksud hanyalah demokrasi yang sesuai dengan kepentingan mereka. Di balik senyum dan kata-kata manis, ada permainan kekuasaan yang licik, di mana rakyat hanyalah pion-pion kecil yang bisa dipindahkan sesuai kehendak mereka. 

Beberapa hari kemudian, di Gedung DPR, suasana tegang tampak jelas di lorong-lorong yang biasanya ramai dengan para staf dan anggota dewan yang lalu-lalang. Pintu ruang rapat tertutup rapat, dan di dalamnya, para anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada tengah duduk mengelilingi meja panjang, saling bertukar pandang dengan ekspresi serius.

Pak Budi, yang kali ini tampil lebih formal dalam setelan jas hitam dan dasi merah, memimpin pertemuan tersebut. Rapat itu hanya dihadiri oleh mereka yang dianggap 'terpercaya'---sebuah lingkaran dalam yang dipilih untuk menjaga rencana besar ini tetap rahasia.

"Dengan segala hormat, kita harus segera bertindak," Pak Budi membuka rapat dengan nada yang lebih tegas daripada saat pertemuan di restoran. "Kita harus memastikan bahwa revisi terhadap UU Pilkada ini segera disahkan sebelum putusan MK mulai berdampak luas. Kita tidak bisa membiarkan partai-partai kecil merusak apa yang sudah kita bangun."

Pak Anton, seorang anggota dewan yang terkenal sebagai 'ahli hukum' di antara mereka, mengangguk setuju. "Saya sudah mempelajari celah-celahnya. Kita bisa mengajukan revisi dengan alasan 'konsistensi hukum' dan 'penjagaan stabilitas politik.' Pasal 40 harus kita kembalikan seperti semula, atau setidaknya, kita tambahkan klausul yang membuat putusan MK sulit diimplementasikan."

Di balik pintu tertutup itu, mereka berdiskusi dengan penuh semangat, seolah-olah mereka sedang menyelamatkan negeri ini dari ancaman besar. Namun, yang sebenarnya mereka lakukan adalah menyusun strategi untuk menganulir putusan MK demi melanggengkan dominasi partai besar di panggung politik daerah.

"Jangan lupa," kata Pak Budi sambil mengetukkan jari telunjuknya ke meja, "kita harus segera mendapat dukungan dari pemerintah dan DPD. Kita butuh sekutu di eksekutif dan parlemen atas untuk meyakinkan mereka bahwa ini adalah langkah yang tepat. Stabilitas politik harus menjadi alasan utama kita."

Pak Yudi, yang kali ini terlihat lebih tenang setelah ditegur di pertemuan sebelumnya, mencoba memberikan masukan. "Bagaimana kalau kita juga libatkan media? Kita bisa menyebarkan narasi bahwa putusan MK ini berpotensi menimbulkan kekacauan politik di daerah-daerah. Dengan begitu, masyarakat akan mendukung revisi yang kita ajukan."

Pak Anton mengangguk sambil tersenyum sinis. "Ide bagus. Kita bisa gunakan media yang dekat dengan kita untuk menyebarkan pesan itu. Lagipula, siapa yang akan membantah kalau kita bicara tentang menjaga stabilitas? Rakyat tidak akan berpikir panjang, mereka hanya ingin situasi tetap tenang."

Rencana itu pun mulai dijalankan dengan kecepatan yang menakutkan. Mereka menghubungi para sekutu di berbagai kementerian, menyusun naskah revisi yang akan diajukan, dan memastikan bahwa semua proses berjalan tanpa hambatan. Semua dilakukan di balik layar, jauh dari sorotan publik.

Setiap kata yang mereka ucapkan di depan publik dipoles dengan hati-hati---"demokrasi," "stabilitas," "keadilan." Namun, di balik itu semua, permainan kekuasaan sedang berlangsung, dengan niat tunggal untuk mempertahankan posisi mereka sebagai penguasa di panggung politik.

Di gedung parlemen, rapat demi rapat digelar, semua seakan berjalan normal di mata publik. Namun, di ruang-ruang tertutup itu, konspirasi untuk menganulir keputusan MK terus berjalan, dengan strategi yang semakin matang. Para politisi itu begitu yakin bahwa mereka berada di atas angin, bahwa rencana mereka akan berhasil tanpa hambatan berarti.

Di luar sana, rakyat menjalani kehidupan sehari-hari tanpa tahu bahwa di balik tembok gedung megah itu, demokrasi sedang dipermainkan. Mereka tidak tahu bahwa para wakil yang seharusnya mewakili mereka, justru sibuk menyusun rencana untuk menutup pintu demokrasi yang seharusnya terbuka lebar untuk semua.

Dan saat malam kembali turun di Neofelix, cahaya lampu-lampu gedung parlemen yang tetap menyala seolah menjadi simbol bahwa permainan ini belum selesai. Di balik pintu tertutup, para politisi itu terus menyusun langkah, yakin bahwa mereka telah berhasil mengendalikan demokrasi sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Namun, bayang-bayang yang mereka ciptakan kini mulai menggelapkan arti sejati dari demokrasi yang seharusnya mereka jaga.

Di luar Gedung Parlemen, angin bertiup kencang membawa kabar tentang rencana busuk yang disusun di balik pintu-pintu tertutup. Publik, yang awalnya tidak menyadari permainan kekuasaan ini, mulai mendengar desas-desus. Berita-berita di media sosial beredar cepat, memperlihatkan kebobrokan moral para anggota dewan yang mencoba membelokkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) demi keuntungan pribadi.

Di dalam gedung, Pak Budi dan rekan-rekannya masih merasa aman. Mereka yakin bahwa strategi mereka telah berjalan dengan baik. Revisi UU Pilkada sudah hampir selesai, tinggal menunggu waktu untuk disahkan. Mereka tak menyangka bahwa rakyat mulai menaruh perhatian serius.

Namun, mereka segera tersadar bahwa rencana mereka tidak akan berjalan semulus yang diperkirakan. Protes-protes kecil yang tadinya dianggap remeh, mulai membesar menjadi gelombang demonstrasi. Rakyat turun ke jalan, menuntut transparansi dan mempertanyakan motif para wakil mereka. Media independen mulai mengekspos permainan kotor yang terjadi di Gedung Parlemen, mengungkap bagaimana demokrasi sedang dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan.

Menyadari situasi semakin memanas, Pak Budi dan kelompoknya memutuskan untuk menggelar konferensi pers guna meredam situasi. Mereka berdiri di depan para jurnalis dengan wajah tenang, berusaha meyakinkan publik bahwa revisi UU Pilkada dilakukan demi "kestabilan politik" dan "kepentingan rakyat." Namun, kali ini, rakyat tidak mudah tertipu.

"Pak Budi, bagaimana Anda bisa mengatakan ini untuk kepentingan rakyat, sementara jelas ini hanya untuk melindungi kekuasaan partai besar?" salah satu jurnalis menanyakan dengan nada tajam, memecah suasana formal yang mereka ciptakan.

Pak Budi terdiam sesaat, mencari kata-kata yang tepat. "Kami... kami hanya ingin menjaga agar proses demokrasi tetap berjalan dengan baik. Tanpa stabilitas, demokrasi tidak bisa berfungsi dengan optimal," jawabnya, namun suaranya terdengar kurang meyakinkan.

Di luar gedung, demonstrasi semakin membesar. Teriakan-teriakan rakyat yang menuntut keadilan dan transparansi terdengar semakin keras. Spanduk-spanduk bertuliskan "Demokrasi untuk Semua!" dan "Hentikan Manipulasi UU!" berkibar di udara. Pak Budi bisa merasakan ketegangan itu menembus dinding-dinding gedung parlemen yang tebal.

Pada hari berikutnya, sebuah sidang terbuka diadakan untuk membahas revisi UU Pilkada. Kali ini, bukan hanya anggota dewan yang hadir, tetapi juga perwakilan masyarakat sipil, aktivis, dan media. Ruang sidang penuh sesak, dan suasana terasa sangat berbeda dari pertemuan-pertemuan tertutup yang biasanya diadakan.

Pak Budi dan kelompoknya, yang tadinya begitu percaya diri, kini tampak gelisah. Mereka harus menghadapi kritik dan pertanyaan dari publik yang semakin keras. Narasi tentang "stabilitas politik" yang tadinya menjadi senjata mereka, kini berbalik menjadi bumerang.

Seorang aktivis perempuan muda, dengan suara penuh emosi, berdiri di depan mikrofon. "Demokrasi bukanlah alat untuk melanggengkan kekuasaan segelintir orang! Kalian telah mencederai kepercayaan rakyat. Revisi ini jelas hanya untuk melindungi kepentingan kalian sendiri. Rakyat menuntut kalian untuk mundur dan membiarkan demokrasi berjalan sesuai dengan kehendak rakyat!"

Kata-katanya disambut dengan sorakan dan tepuk tangan dari penonton. Pak Budi merasakan tekanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia mencoba untuk menjawab, namun setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar lemah dan tidak meyakinkan. Suara rakyat yang kini semakin keras, mengatasi kekuatan retorika yang selama ini ia andalkan.

Di akhir sidang, keputusan mengejutkan diambil. Di bawah tekanan publik, revisi UU Pilkada dibatalkan, dan MK didukung penuh untuk melaksanakan putusan mereka tanpa halangan. Para politisi yang tadinya begitu berkuasa kini terlihat lesu, sadar bahwa kekuatan rakyat lebih besar daripada rencana apa pun yang mereka susun di balik pintu tertutup.

Pak Budi meninggalkan gedung dengan langkah berat, wajahnya suram. Ia menyadari bahwa dalam usahanya untuk mengendalikan demokrasi, ia justru telah kehilangan segalanya---kepercayaan rakyat, kekuasaan, dan bahkan martabatnya sendiri. Demokrasi yang selama ini ia anggap bisa dipermainkan sesuai kehendaknya, justru menunjukkan wajah sejatinya di pengadilan rakyat.

Di luar gedung, rakyat bersorak gembira. Mereka telah memenangkan pertempuran ini, membuktikan bahwa demokrasi adalah milik semua, bukan hanya milik segelintir orang yang bersembunyi di balik kata-kata manis. Pak Budi menatap kerumunan itu dari jauh, merasa kecil dihadapan kekuatan rakyat yang tak terelakkan.

Dan di bawah langit kota Neofelix yang mulai cerah, demokrasi yang sejati kembali bernafas, memberi harapan bahwa selama rakyat bersatu, kebenaran akan selalu menang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun