Mohon tunggu...
Donyawan Maigoda
Donyawan Maigoda Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer | Novelis| SEO Writer| Owner PT Xinxian Boba Indonesia

Hanya manusia biasa yang hobi menulis saat sedang gabut

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Demokrasi di Ujung Lidah

21 Agustus 2024   20:51 Diperbarui: 21 Agustus 2024   21:02 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Budi dan kelompoknya, yang tadinya begitu percaya diri, kini tampak gelisah. Mereka harus menghadapi kritik dan pertanyaan dari publik yang semakin keras. Narasi tentang "stabilitas politik" yang tadinya menjadi senjata mereka, kini berbalik menjadi bumerang.

Seorang aktivis perempuan muda, dengan suara penuh emosi, berdiri di depan mikrofon. "Demokrasi bukanlah alat untuk melanggengkan kekuasaan segelintir orang! Kalian telah mencederai kepercayaan rakyat. Revisi ini jelas hanya untuk melindungi kepentingan kalian sendiri. Rakyat menuntut kalian untuk mundur dan membiarkan demokrasi berjalan sesuai dengan kehendak rakyat!"

Kata-katanya disambut dengan sorakan dan tepuk tangan dari penonton. Pak Budi merasakan tekanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia mencoba untuk menjawab, namun setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar lemah dan tidak meyakinkan. Suara rakyat yang kini semakin keras, mengatasi kekuatan retorika yang selama ini ia andalkan.

Di akhir sidang, keputusan mengejutkan diambil. Di bawah tekanan publik, revisi UU Pilkada dibatalkan, dan MK didukung penuh untuk melaksanakan putusan mereka tanpa halangan. Para politisi yang tadinya begitu berkuasa kini terlihat lesu, sadar bahwa kekuatan rakyat lebih besar daripada rencana apa pun yang mereka susun di balik pintu tertutup.

Pak Budi meninggalkan gedung dengan langkah berat, wajahnya suram. Ia menyadari bahwa dalam usahanya untuk mengendalikan demokrasi, ia justru telah kehilangan segalanya---kepercayaan rakyat, kekuasaan, dan bahkan martabatnya sendiri. Demokrasi yang selama ini ia anggap bisa dipermainkan sesuai kehendaknya, justru menunjukkan wajah sejatinya di pengadilan rakyat.

Di luar gedung, rakyat bersorak gembira. Mereka telah memenangkan pertempuran ini, membuktikan bahwa demokrasi adalah milik semua, bukan hanya milik segelintir orang yang bersembunyi di balik kata-kata manis. Pak Budi menatap kerumunan itu dari jauh, merasa kecil dihadapan kekuatan rakyat yang tak terelakkan.

Dan di bawah langit kota Neofelix yang mulai cerah, demokrasi yang sejati kembali bernafas, memberi harapan bahwa selama rakyat bersatu, kebenaran akan selalu menang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun