Hari ini, 14 Februari 2019, menjadi hari cukup spesial bagi sebagian orang untuk merayakan hari Valentine alias hari kasih sayang. Valentine identik dengan beragam tradisi untuk mengungkapkan rasa sayang pada sosok istimewa dengan memberikan hadiah seperti bunga, coklat, kue, baju, dan seterusnya.Â
Di sisi lain, masih banyak pula yang berusaha meyakinkan bahwa Valentine bukanlah tradisi Indonesia sehingga tak perlu larut dalam euforia ini. Hal ini karena masih banyak yang beranggapan bahwa makna Valentine justru hanyalah budaya yang dianggap "meracuni" generasi muda untuk melakukan hal yang tidak berguna.Â
Namun, marilah menggunakan kaca mata lain menanggapi hari Valentine ini, cukup fokus pada frasa Hari Kasih Sayang. Frasa ini bisa kita lihat sebagai refleksi tentang berkasih sayang kepada orang lain, tak peduli siapapun, dimana pun, kapan pun, bahkan dengan cara apapun. Tak ada salahnya bila frasa tentang hari ini justru menjadi renungan bagi kita semua bagaimana cara kita bersikap dengan orang lain selama ini dan bagaimana pola pikir kita dalam bersosialisasi dengan orang lain, entah dalam dunia nyata maupun maya. Untuk sejenak, marilah melihat hari ini sebagai "Self Reminder".
Hari Kasih Sayang ini terasa kontradiktif bila melihat situasi demam pemilihan presiden (pilpres) yang ada di negeri tercinta ini. Bagaimana tidak, gelombang informasi seputar pilpres terus mengalir di berbagai obrolan. Ketika saya berada di kampus, teman-teman masih sering beretorika tentang jagoannya, di kantor, di televisi, bahkan di sosial media sekalipun. Satu hal yang mungkin terngiang dari situasi tentang pilpres yaitu endless debate.Â
Di Twitter misalnya, saya cukup heran ketika setiap kali penasaran dengan trending topic setiap hari yang muncul selalu tentang pilpres. Isinya kurang lebih tentang menjatuhkan kandidat lawan, promosi prestasi kandidat, pengungkapan fakta kebohongan, sandiwara politik, dan kawan-kawannya. Setiap satu cuitan yang menjunjung si kandidat favorit pun tak pernah lekang dengan balasan komentar penuh makian dan sangat tidak sopan.Â
Ini masih satu contoh yang ada di Twitter, belum Instagram, Line, Youtube, Facebook, dan sosial media lainnya. Tak mengherankan jika perdebatan terkait politik terus saja mengalir, karena sosial media terutama Twitter merupakan political tool yang cukup ampuh sesuai dengan digitalized era yang pernah dikaji oleh Jackson & Daniels.Â
Rasanya tak perlu kaget juga dengan atmosfer seperti ini, karena inilah salah satu wujud dari demam pilpres 2019. Banyak orang yang fanatik terhadap kandidat jagoannya dan banyak pula yang berusaha menciptakan citra buruk bagi kandidat pesaing.Â
Sayangnya, orang yang berkomentar menjadi semakin memanas hingga mungkin mereka tak sadar bahwa apa yang mereka ketikkan dan ucapkan terdengar sangat kasar dan menyakitkan. pernahkah kita merenung sejenak, apabila situasi seperti ini terus terjadi, apa yang akan terjadi dengan negeri ini? Netizen mulai berlomba menjadikan argumennya sebagai trending topic dan meledakkan hashtag atau taggar tertentu. Beragam klaim nonsense, fitnah, berita hoaks, pencemaran nama baik, dan masih banyak serba-serbi menggelikan telah mewarnai demam pilpres ini, tragis!
Alright, let's ignore those fake paid account bashing on sosmed for a while. Terkadang saya penasaran seperti apa ya kehidupan orang-orang yang pandai memaki dan merasa paling benar dan cerdas tersebut di dunia nyata? Will they do the same thing? Sampai kapan kita mau saling menyulut api satu sama lain dan mencari-cari topik untuk saling mencemooh?Â
Ini pun masih proses menuju prilpres, belum lagi saat sudah terpilih presiden yang memenangkan eleksi, apakah hal seperti ini akan tetap dilanjutkan? Jika iya, sungguh terluka sang sila ketiga Pancasila; Persatuan Indonesia. Wajar saja bila berbeda pendapat, namun emosi yang berlebihan juga harus dikontrol sebaik mungkin. Saya sangat ingat salah satu nasihat dosen saya terkait hal ini:
Janganlah hanya bangga menjadi orang yang bisa meraih pendidikan, namun jaga tingkah laku dan ucapanmu selayaknya orang yang berpendidikan. Jangan pernah coreng dan khianati ilmu dan pantaskan diri sebagai orang terdidik.Â