Di mata sepakbola nasional, PSMS bukan lagi The Killer (baca pembunuh-red) yang ditakuti di era perserikatan dahulu. Seorang kawan di Malang menyebutkan PSMS bak klub "salon" yang sibuk mempercantik diri, dihadapan Ketua Umum PSSI (Djohar-red) dan PT Liga Indonesia.
Jajaran elit pengambil kebijakan tak kuasa mengambil sikap atas dua opsi yang ditawarkan. Atas  IPL yang hadir dengan menyebut dirinya resmi dan sederet konsep profesional yang aplikasinya kabur. Di sisi lain  ilegalitas ISL tertutupi dengan pakem lama yang menjual dengan kehadiran tim-tim elit seperti Persipura, Sriwijaya dan tim-tim bertabur bintang lainnya.
Nah, juga jangan dilupakan iming-iming dana yang ditawarkan dua pengelola kompetisi kepada peserta. Gelontoran dana bermilyar-milyar juga pembagian saham keuntungan pastinya menggoda  di tengah peraturan tanpa APBD yang segera diberlakukan. Artinya klub-klub tak perlu bersusah payah mencari pendanaan klub.
Faktanya, bukan kebanggaan yang diberikan kepada publik namun kebingungan. Kalau diajak menonton PSMS tentu pertanyaan yang muncul "PSMS yang mana? Yang ISL atau IPL?". Silahkan memilih atau menikmati keduanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H