Mohon tunggu...
Mohammed Donny Iswara
Mohammed Donny Iswara Mohon Tunggu... lainnya -

fungsionaris Yayasan Sultan Hamid II

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Garuda Pancasila, Elang Rajawali yang Didustakan

13 September 2014   11:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:49 3089
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Soekarno memerintahkan kepada saya agar melambangkan ide Panca-Sila ke dalam gambar pada lambang negara dan berkali-kali ucapan beliau kepada saya, tetapi pesan beliau juga gambar itu haruslah mengangkat simbol-simbol yang ada pada peradaban bangsa Indonesia agar setara dan gambarnya seharmonis mungkin, seperti lambang-lambang negara besar lain di dunia, karena Presiden Soekarno yakinkan kepada saya, menurutnya karena saya pernah bersama ketika itu saya mengambil jurusan teknik sipil satu tahun diT.H.S Bandung, walaupun akhirnya saya tidak menyelesaikan kuliah itu berhubung saya diterima di K.M.A Breda Negeri Belanda, terus menerus beliau meyakinkan saya, bahwa pasti saya paham dalam hal menggambar struktur lambang, untuk itu kemudian saya mengajukan kepada Presiden Sukarno pada agenda sidang kedua kabinet RIS tanggal 10 januari 1950 untuk membentuk kepanitiaan teknis lambang negara RIS yang diketuai oleh Mr.M.Yamin, dan yang lain Ki Hajar dewantara/anggota, .A.Pellaupessy/anggota, Moh.Natsir/anggota, dan R.M.Ng. Purbatjaraka/anggota. Kepanitiaan ini dibawah koordinator saya yang bertugas menyeleksi/memilih usulan-usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada Pemerintah untuk ditetapkan oleh Parlemen RIS secepatnya, karena memang selama 5 tahun sejak negara R.I merdeka 17-8-45 sampai dengan terbentuknya negara RIS 1949 belum ada memiliki lambang negara.

Untuk memberikan pemikiran teknis saya selaku Menteri Negara Zonder Forto Folio RIS 1949-1950 dan Koordinator Panitia Lambang Negara meminta Ki Hajar Dewantara untuk memberikan sumbangan pemikiran tentang hasil-hasil penelitian lambang-lambang di peradaban bangsa Indonesia, karena menurut Mr M. Yamin selaku Ketua Panitia Lambang Negara beliau lebih mengetahui dan pernah menjadi ketua Panitia Indonesia Raya tahun 1945 bersama Mr.M Yamin yang kedudukannya sekretaris umum, untuk itulah saya mengirim telegram kawat kepada Ki Hajar Dewantara di jogjakarta dan telah dibalas kepada saya 26 Djanuari 1950 yang intinya saya agar berkonsultasi kembali dengan Mr.M.Yamin mengenai hasil penyelidikan lambang-lambang dimaksud, kemudian berdasarkan hasil kesepakatan rapat Panitia Lambang Negara RIS ada dua rencana gambar rancangan lambang negara yang dipersiapkan Panitia Lambang Negara ketika itu yang pertama dari saya sendiri dan kedua dari Mr.M Yamin.

Saya membuat sketsa berdasarkan masukan Ki Hajar Dewantara dengan figur Garuda dalam mitologi yang dikumpulkan oleh beliau dari beberapa candi di Pulau jawa dikirim beliau dari jogjakarta, dan tidak lupa saya juga membandingkan salah satu simbol Garuda yang dipakai sebagai Lambang kerajaan Sintang Kalimantan Barat, tetapi hanya merupakan salah satu bahan perbandingan antara bentuk burung Garuda yang berada di candi-candi di jawa dengan luar jawa, karena secara historis kerajaan Sintang masih ada hubunganya dengan keradjaan Majapahit, seperti dalam "legenda Darajuanti dengan Patih Lohgender, demikian keterangan Panglima Burung menjelaskan kepada saya di Hotel Des Indes" awal Februari 1950. Disamping itu saya juga mempergunakan bahan-bahan lambang negara lain yang juga figurnya burung elang / yang mendekati burung Garuda dan saya tertarik dengan gambar-gambar lambang negara dan militer negara Polandia, karena latar belakang pendidikan saya ketika di K.M.A Breda juga mempelajari makna-lambang-lambang militer berbagai negara dan lambang-lambang negara di Eropah dan negara-negara Arab serta Amerika juga di kawasan Asia yang memakai figur burung. Disamping itu Mr. M Yamin juga mempersiapkan tersendiri lambang negara, walaupun demikian juga beberapa hal beliau memberikan masukan kepada saya tentang makna bunga teratai, yang kemudian saya buat gambar untuk dasar dudukan burung garuda pada sketsa awal saya, karena menurut beliau itu juga mitologi bangsa Indonesia dari peradaban agama Budha.

Perlu saya jelaskan, bahwa yang paling sulit ketika mencarikan simbol-simbol yang tepat untuk melambangkan idee Panca Sila, saya awali dengan mencoba untuk membuat rencana tameng / perisai yang menempel pada figur burung garuda, karena lambang-lambang pada negara lain yang mempergunakan figur burung selalu ada tameng / perisai ditengahnya, pertama saya membuat sketsa awal perisai yang saya bagi menjadi lima ruang dan sebagai tanda perisai yang membedakan dari Perisai yang dibuat Mr.M Yamin, kemudian saya buat dua buah perisai didalam dan diluar dengan garis agak tebal yang membelah perisai untuk melambangkan garis equator / khatulistiwa diperisai itu, walaupun demikian saya juga meminta anggota dalam Panitia Lambang Negara untuk menyumbangkan pemikiran yang berhubungan dengan simbol-simbol idee Panca-Sila, seperti pesan Presiden Soekarno, ada yang menyarankan simbol keris, banteng, padi kapas, kemudian saya menambahkan Nur Cahaya berbentuk bintang bersegi lima atas masukan M Natsir sebagai simbol sila ke satu Panca-Sila, juga masukan dari R.M Ng Purbatjaraka, yakni pohon astana yang menurut keterangannya pohon besar sejenis pohon beringin yang hidup di depan istana sebagai lambang pengayoman dan perlindungan untuk melambangkan sila ketiga, karena menurut beliau pohon astana memaknai simbol menyatunya rakyat dengan istana itulah juga hakekat negara RIS yang sebagian besar ketika itu didirikan di luar proklamasi RI 17-8-45 oleh kerajaan - kerajaan dan simbol selanjutnya tali rantai bermata bulatan melambangkan perempuan dan bermata persegi melambangkan laki-laki yang sambung menyambung berjumlah 17 sebagai simbol regenerasi yang terus menerus, mengenai simbol ini inspirasinya saya ambil dari tanah Kalimantan, yakni kalung dari suku Dayak demikian juga bentuk perisainya, setelah bertukar pikiran dengan para panglima suku Dayak di Hotel Des Indes Jakarta awal Februari 1950 yang saya ajak ke Jakarta ketika itu, salah satunya panglima Burung dan Massuka Djanting bersama J.C Oevaang Oeray sahabat saya di Dewan Daerah DIKB, lambang lain kepala banteng sebagai sila ke empat ini sumbangan dari Mr. M Yamin sebagai lambang dasar kerakyatan / tenaga rakyat dan padi-kapas lambang sila kelima sumbangan dari Ki Hajar dewantara sebagai perlambang ketersedian sandang dan papan / simbol tudjuan kemakmuran, semua itu saya bicarakan di hotel Des Indes yang merupakan tempat saya membuat gambar lambang negara sekaligus tempat saya tinggal sementara di jakarta sebagai menteri negara RIS sampai dengan 5 April 1950 saya ditangkap atas perintah Jaksa Agung yang akhirnya saya "terseok" dalam perjalanan sejarah sebagai anak bangsa. Itu mungkin ciptaan saya terpendam mudah-mudahan penjelasan kepada saudara Salam menjadi terang adanya.
Saya putuskan ciptaan pertama berbentuk figur burung Garuda yang memegang perisai Panca-Sila, seperti masukan Ki Hajar Dewantara yang diambil dari mitologi garuda pada peradaban bangsa Indonesia, tetapi ketika gambar lambang negara ini saya bawa ke dalam Rapat Panitia Lambang Negara 8 Februari 1950, ternyata ditolak oleh anggota Panitia lambang Negara RIS lain, karena ada keberatan dari M Natsir ada tangan manusia yang memegang perisai berkesan terlalu mitologi dan feodal, juga keberatan anggota lain R.M Ng Purbatjaraka terhadap jumlah bulu ekor tujuh helai, terus terang yang mengusulkan tujuh helai ini adalah Mr M.Yamin, untuk itu saya mintakan dalam rapat Mr.M. Yamin ketika itu menjelaskan makna tujuh helai bulu ekor selaku Ketua Panitia Lambang Negara, dan ada kesepakatan untuk dirubah mendjadi 8 helai bulu ekor, sebagai candra sengkala / identitas negara proklamasi 17-8-45 atas usulan M.A Pellaupessy jang menurut beliau tak boleh dilupakan.

Akhirnya setelah penolakan itu saya mengambil inisiatif pribadi untuk memperbandingkan dengan lambang-lambang negara luar, khususnya negara negara Arab, seperti Yaman, Irak, Iran, Mesir ternyata menggunakan figur burung Elang Rajawali, juga seperti negara Polandia yang sudah lama ratusan tahun juga menggunakan burung Elang Rajawali seperti yang saya jelaskan di atas dalam kemiliterannya, setelah saya selidiki ternyata bendera perang Sayidina Ali r.a ternyata memakai panji-panji simbol burung Elang Rajawali, untuk itulah saya putuskan mengubah figur burung dari mitologi garuda ke figur burung elang Rajawali, karena sosoknya lebih besar / gagah dari burung elang yang ada di jawa dan ini simbolisasi lambang tenaga pembangun / creatif vermogen negara dengan harapan Negara Republik Indonesia Serikat / RIS menjadi negara yang besar dan setara dengan negara - negara di dunia, sudah menjadi kewajaran dan demikian seharusnya.

Selandjutnya gambar lambang negara saya bisa diterima oleh anggota Panitia Lambang Negara, demikian juga lambang negara rancangan Mr.M Yamin yang kemudian kami serahkan bersama kepada Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta untuk dibawa ke Pemerintah dan sidang Parlemen RIS untuk dipilih, alhamdulillah gambar rancangan saya yang diterima 10 Februari 1950 dan esoknya untuk pertama kali diperkenalkan kepada halayak ramai di Hotel Des Indes, yang kemudian pada rapat parlemen RIS bersama Pemerintah ditetapkan oleh Parlemen RIS sebagai Lambang Negara RIS pada tanggal 11 Februari 1950, walaupun demikian ada masukan beberapa waktu kemudian dari Presiden Soekarno ketika beliau sedang berpidato kenegaraan 20 Februari 1950 melihat lambang negara tersebut yang tergantung dibelakang podium di gedung parlemen Istana Merdeka Pejambon, karena kepala burung Rajawalinya tidak "berjambul" dan terlihat "gundul", Presiden sukarno meminta saya untuk memperbaiki bentuk kepala, kemudian saya mengubah bagian kepala menjadi berjambul, kemudian oleh kementerian penerangan RIS atas perintah Presiden Soekarno kepada pelukis Dullah untuk melukis kembali lambang negara tersebut, kemudian lukisan itu saya potret dalam bentuk hitam putih untuk dikoreksi kembali oleh Presiden Soekarno dan ternyata masih ada keberatan dari beliau, yakni bentuk cakar kaki yang mencengkram seloka Bhinneka Tunggal Ika dari arah belakang sepertinya terbalik, saja mencoba menjelaskan kepada Presiden Sukarno, memang begitu burung terbang membawa sesuatu seperti keadaan alamiahnya, tetapi menurut Presiden Sukarno Seloka ini adalah hal yang sangat prinsip, karena memang sejak semula merupakan usulan beliau sebagai ganti rencana pita merah putih yang menurut beliau sudah terwakili pada warna perisai, selanjutnya meminta saya untuk mengubah bagian cakar kaki menjadi mencengkram pita / menjadi kearah depan pita agar tidak "terbalik" dengan alasan ini berkaitan dengan prinsip "jatidiri" bangsa Indonesia, karena merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" dalam negara RIS, mengertilah saya pesan filosofis Presiden Sukarno itu, jadi jika "bhinneka" yang ditonjolkan itu maknanya perbedaan yang menonjol dan jika "keikaan" yang ditonjolkan itulah kesatuan republik yang menonjol, jadi keduanya harus disatukan, karena ini lambang negara RIS yang didalamnya merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" haruslah dipegang teguh sebagai "jatidiri" dan prinsip berbeda-beda pandangan tapi satu jua, "e pluribus unum".

Walapun saya harus susah payah membuat sketsa kembali untuk pembentulan bagian cakar kaki itu, tetapi saya mengerti ini hal bagian yang sangat penting dalam lambang negara RIS, karena mengandung tiga konsep lambang sekaligus, yakni pertama, burung Rajawali Panca-Sila yang menurut perasaan bangsa Indonesia berdekatan dengan burung garuda dalam mitologi, kedua perisai idee Panca-Sila ber"thawaf"/gilir balik, dan ketiga, seloka Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis dalam pita warna putih, untuk itu saya meminta bantuan R Ruhl untuk membuat sketsa dari lambang negara yang saya buat dengan membawa potret lukisan lambang negara yang dilukis oleh Dullah, karena lukisan Dullah yang gambar rancangannya semula cengkraman kakinya menghadap kebelakang telah diserahkan kepada kementerian penerangan RIS yang ketika itu masih berada di Yogjakarta, kemudian dimintakan kepada saya oleh Presiden Soekarno untuk tidak disebarkan dahulu ke pelosok negara RIS, setelah itu sketsa transkrip / out werp yang dilukis D.Ruhl Jr saya ajukan kembali ke Paduka Presiden Soekarno, ternyata beliau langsung mendisposisi sebagai wapen negara, waktu itu tanggal 20 Maret 1950, kemudian beliau memerintahkan untuk memanggil Dullah sang pelukis Istana / pelukis kesayangan bung Karno untuk melukis kembali berdasarkan sketsa perbaikan R.Ruhl tersebut, walaupun ketika itu kita harus merugi beberapa ribu rupiah lagi untuk membayar pelukis Dullah.

Hasil lukisan Dullah itulah yang kemudian oleh Presiden Soekarno diperintahkan kepada kementerian penerangan untuk disebarkan luaskan ke seluruh pelosok negara RIS yang ketika itu saya lihat banyak warga bangsa memasang di rumah-rumah, sedangkan saya selaku pembuat gambar rancangan lambang negara yang saya namakan Eang Rajawali Panca-Sila diperintahkan Presiden Sukarno untuk memperbaiki seperlunya, yakni membuat skala ukuran, bentuk dan tata warna serta keterangan gambar yang ada pada simbol-simbol itu, karena menjadi tanggungjawab saya selaku Koordinator Panitia Lambang Negara dan Menteri Negara dalam perencanaan lambang negara RIS.

Patut saya sedikit jelaskan, mengapa burung itu menoleh ke arah kanan hal ini sebenarnya perlambang pandangan negara kearah kebaikan kedepan, karena kanan dalam tradisi masyarakat selalu diartikan dengan arah kebaikan, demikian salam menoleh ke kanan ketika sholat umat Islam hukumnya wajib / fardhua'in, untuk itu dengan terbentuknya RIS diharapkan bangsa ini bisa maju kearah kemajuan sebagai bangsa yang lebih baik, sedangkan mengapa diberi nama Burung Elang Rajawali Panca-Sila, karena saya menghargai latar belakang gambar yang saja ciptakan pertama mengambil figur burung Garuda memegang perisai Panca-Sila berubah menjadi figur Burung Elang Rajawali yang dikalungkan perisai Panca-Sila agar proses bangsa ini jangan melupakan peradaban bangsanya dari mana dia berasal / jangan sampai melupakan sejarah puncak-puncak peradabannya, seperti pesan Bung Karno.

Yang unik dan penting untuk saya jelaskan, karena banyak yang menanyakan kepada saya, mengapa harus ada dua perisai pada perisai Panca-Sila, sebenarnya saya hanya menjabarkan idee Panca-Sila dari Bung Karno 1 juni 1945 dalam rapat Panitia Sembilan, karena saya teringat pada pesan ucapan Presiden Soekarno kepada saya berkali-kali, yakni Lambang Negara haruslah bisa melambangkan idee Panca-Sila, mengenai idee Panca-Sila itu terus terang saya banyak masukan dari penjelasan Mr Mohammad Hatta selaku Perdana Menteri RIS ketika saya konsultasi terus menerus pada waktu itu.

Adanya dua lambang perisai besar diluar dan perisai yang kecil ditengah, karena menurut penjelasan Mr. Mohammad Hatta yang terlibat dalam panitia sembilan perumusan Panca-Sila 1945 ketika pertukaran fikiran dalam Panitia Sembilan pada pertengahan Juni 1945, dari lima sila Panca Sila yang terpenting sebagai pertahanan bangsa ini menurut beliau adalah sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, barulah bangsa ini bisa bertahan maju kedepan untuk membangun generasi penerus / kader - kader pedjuang bangsa yang bermartabat / berprikemanusiaan yang disimbolkan dengan sila kedua kemanusian yang adil dan beradab, setelah itu membangun persatuan Indonesia sila ketiga, karena hanya dengan bersatulah dan perpaduan antar negara dalam RIS inilah bangsa Indonesia menjadi kuat, pada langkah berikutnya baru membangun parlemen negara RIS yang demokratis dalam permusyawaratan / perwakilan, karena dengan jalan itulah bisa bersama-sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yakni dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat karena berbakti kepada bangsa dan Tuhan Yang Maha Esa. Atas penjelasan Perdana Menteri RIS itu, kemudian perisai kecil ditengah saya masukan simbol sila kesatu berbentuk Nur bintang bersudut segilima, patut diketahui arah simbolisasi ide Panca-Sila itu saya mengikuti gerak arah ketika orang "berthawaf"/berlawanan arah jarum jam / "gilirbalik" kata bahasa Kalimantan dari simbol sila ke satu ke simbol sila kedua dan seterusnya, karena seharusnya seperti itulah sebagai bangsa menelusuri / menampak tilas kembali akar sejarahnya dan mau kemana arah bangsa Indonesia ini dibawa kedepan agar tidak kehilangan makna semangat dan "jatidiri"-nya ketika menjabarkan nilai-nilai Panca-Sila yang berkaitan segala bidang kehidupan berbangsanya, seperti berbagai pesan pidato Presiden disetiap kesempatan. Itulah kemudian saya membuat gambar simbolisasi Panca-Sila dengan konsep berputar-gerak "thawaf" / gilir balik kata bahasa Kalimantan sebagai simbolisasi arah prediksi konsep membangun kedepan perjalanan bangsa Indonesia yang kita cintai ini.
Perisai idee Panca-Sila itu dibawa terbang tinggi oleh Sang Rajawali Panca-Sila yang dikalungkan dengan rantai dilehernya dengan tetap mencengkram kuat prinsip yang dipegang teguh para pemimpin bangsa dalam Negara RIS, namanya "Bhinneka Tunggal Ika" sebagaimana dikehendaki bersama itulah simbol kedaulatan RIS seperti telah diperjuangkan bersama di KMB 1949 dan telah dituangkan dalam Piagam Penyerahan Kedaulatan pada 27 Desember 1949 dan diperintahkan dalam Konstitusi RIS itu, yakni Pemerintah untuk menetapkan Lambang Negara RIS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun