BAGAIMANA MERENCANAKAN KEUANGAN ketika kondisi ekonomi global sedang krisis? Ini menjadi pertanyaan yang mendesak. Bagaimana merencanakan Pendidikan Anak? Bagaimana merencanakan Pensiun?
Kemarin, 6 Okt 2022, saya menjadi salah seorang narasumber dalam acara World Financial Planning Day 2022. Terus terang, kali ini saya agak tertekan karena masih memikirkan implikasi dari keruntuhan Credit Suisse dan Deutshce Bank, lalu UBS. Bank Sentral Swiss sudah turun tangan. Credit Suisse dilaporkan mengalami kerugian lebih dari USD 100 Milyar sepanjang tahun 2022.
Lalu ada pernyataan dari Bank of England, yaitu bank sentral Inggris, bahwa banyak lembaga pensiun nyaris mengalami keruntuhan. Dana kelolaan mereka runtuh, habis. Bagaimana nasib orang-orang tua di Inggris yang berharap hidup dari dana pensiun? Banyak perencana keuangan di negara Eropa yang kini tidak berani muncul, sebab nasehatnya yang dahulu terdengar bijak, kini terbukti gagal.
Kondisi di Inggris, juga di beberapa negara bagian Amerika Serikat -- seperti di California, di mana pemerintah California memutuskan memberi Bantuan Langsung Tunai $1000 kepada warga. Memberi stimulus tunai di tengah inflasi, itu hanya membuat inflasi makin tinggi -- semua gagal diantisipasi oleh perencana keuangan, Independent Financial Advisor, juga pemegang tanda CFP. Tidak ada yang menyangka akan terjadi seperti ini.
Bagaimana dengan di Indonesia? IHSG agak turun, namun tidak dalam. Yield masih stabil, tidak melonjak. Inflasi masih di kisaran 6%. Tetapi, apakah akan bertahan?
Sebagai perencana keuangan, kita mengambil kesimpulan dari apa yang terjadi pada aset-aset yang dapat diperoleh, entah aset fisik atau aset surat berharga alias efek.
Menilai pembelian saham, misalnya. Jika kita melihat saham per emiten, biasanya sepintas kita melihat laporan keuangan emiten, lalu lebih banyak melihat pergerakan harga sahamnya. Kita memakai analisa teknikal untuk menentukan  kapan masuk membeli, kapan keluar menjual. Tiga hal harus ditentukan: di mana harga untuk menaruh buy order, di mana harga memasang stop loss, serta di mana harga menaruh take profit. Analisa yang dipakai adalah analisa teknikal.
Ketika dana lebih besar, kita melihat sektoral dari saham, di Indonesia terbagi menjadi 11 sektor. Bukan hanya emiten, tapi kita juga harus melihat seperti apa kebijakan Pemerintah dalam membangun, di sektor mana ada pertumbuhan terbesar, kesempatan besar. Kita bisa melihat dan membandingkan indeks harga saham per sektor.
Di tingkat negara, kita melihat nilai indeks saham gabungan, kalau di Indonesia IHSG. Mungkin kita juga melihat indeks dari kumpulan tertentu, misalnya LQ45 dan Kompas100 untukk berinvestasi jangka panjang secara aman. Namun di tingkat ini, kita juga melihat alternatif lain investasi, seperti obligasi korporasi, atau obligasi negara. Atau kita mau berinvestasi di komoditi, termasuk emas? Kita memakai analisa fundamental dari makro ekonomi negara.
Analisa-analisa ini mengasumsikan bahwa semua berjalan secara normal, di mana semua melakukan pilihan serupa. Ada situasi di mana pasar bergairah dan berani mengambil risiko (disebut bullish), maka porsi pembelian investasi yang diambil lebih banyak saham. Tapi juga bisa terjadi sebaliknya pasar takut risiko (disebut bearish), Â maka porsi pembelian investasi yang diambil lebih banyak obligasi.
Orang mempunyai dana terbatas, jadi kalau ingin membeli saham, mereka menjual obligasinya. Kalau ingin membeli obligasi, maka mereka menjual sahamnya. Tentunya, tidak mungkin seluruhnya adalah saham atau obligasi, karena orang juga harus menyimpan uang untuk bertransaksi, di simpan di berbagai bentuk pasar uang termasuk tabungan deposito di bank.