Orang kreatif adalah orang yang berhasil meyakini dirinya kreatif. (Shutterstock)
Konon, orang Indonesia kalau disuruh menggambar pemandangan pasti sama. Sudah saya buktikan di berbagai tempat, saat saya mengajar. Isinya bakal ada dua gunung, di tengahnya ada matahari, ada awan, burung berbentuk huruf m, di bawah ada jalan, sawah kotak-kotak, kadang ada rumah gubuk, dan pak tani sedang mencangkul.
Ada hal yang salah di sini. Kreativitasnya mati. Semuanya sama. Maka, kasus pembunuhan kreativitas ini layak diusut.
Beberapa penyebab pembunuh kreativitas terbaru adalah:
1. Rutinitas
Akhir-akhir ini teman saya banyak berubah. Ia mulai pergi menemui banyak orang. Sekedar mengobrol dengan mereka. Efeknya, muncul berbagai proyek baru di pikirannya. Idenya liar ke sana kemari. Berbagai peluang bisnis tumbuh di benaknya.
Semua karena satu hal. Ia tiba-tiba punya banyak waktu luang. Saat rutinitasnya sebagai seorang pengajar menyusut, peluang untuk keluar dari rutinitas membesar. Saat dimanfaatkan dengan maksimal, kreativitas dan inovasi menjadi konsekuensi logis.
Lain kasus, dulu ada acara yang sangat saya suka, OVJ namanya. Awal pemunculannya luar biasa lucunya. Tak pernah saya lewatkan pemunculannya. Namun, lama-kelamaan, rutinitas menggulungnya. Lama-lama tidak lucu lagi. Dipaksakan. Banyak buying time-nya. Kreativitasnya mati. Kenapa? Mungkin karena kejar tayang.
Ada beberapa motivator juga yang sepertinya mengendur kualitasnya. Memperdangkal ajarannya supaya bisa dipecah-pecah menjadi banyak. Sehingga bisa jualan lebih banyak. Materi yang bisa dijelaskan dalam satu hari, dipecah menjadi satu minggu. Motifnya ekonomi. Supaya bisa dijual lebih lama dan banyak. Mungkin untuk melayani permintaan kebut-kebutan dari pasar. Akibatnya kegiatan memotivasi jadi –lagi-lagi- menjadi rutinitas dan kejar tayang.
Para pemimpin, hati-hati dengan rutinitas. Para karyawan, hati-hati juga. Rutinitas membunuh kreativitas. Segera bebaskan diri dari rutinitas. Kosongkan beberapa waktu Anda untuk merenung. Tolak hal yang bisa ditolak. Belajar berkata tidak. Belajar membuat ‘not to do list’.
2. Mentalitas “Saya Sudah Nomor Satu”
Dalam kebanyakan organisasi ada empat siklus periode yang dilalui.
Pertama adalah periode kelahiran. Cirinya organisasi ini aktif memantau ancaman dan peluang bisnis. Banyak melakukan tindakan pengambilan risiko. Berorientasi pada tindakan. Sistem komunikasinya lancar baik internal maupun eksternal. Kebanyakan pekerjanya adalah pekerja keras dan cerdas, memburu posisi unggul. Inovatif dan banyak eksperimen. Semua anggota sangat terinspirasi oleh visi, misi, nilai perusahaan.
Kedua adalah periode pertumbuhan. Cirinya mulai menerapkan prinsip manajemen. Lahirlah bermacam-macam peraturan dan SOP. Semakin sedikit berinovasi. Menduplikasi pengalaman sukses sebelumnya. Sukses diukur dari kinerja finansial. Kepuasan karyawan mulai ‘keluar’ dari kriteria sukses perusahaan. Masuk zona nyaman (kurang kritis terhadap ancaman dan peluang). Fokus pada efisiensi tanpa memperhatikan efek pada budaya perusahaan.
Ketiga adalah periode kematangan. Organisasi mulai mencapai posisi unggul. Organisasi berkembang baik horizontal maupun vertikal. Unit di dalam organisasi berubah menjadi kerajaan kecil (muncul ego sektoral dan silo-silo). Kompetisi dalam unit terjadi, memperebutkan sumber daya. Stagnan, memegang teguh kebiasaan dan perilaku lama. Menghindari pengambilian risiko. Semangat kerja menjadi lemah. Mengabaikan ancaman dari kompetitor. Merasa sudah nomor satu dan tidak ada saingan.
Keempat adalah periode penurunan. Organisasi tidak sadar bahwa perusahaan memasuki posisi turun (decline). Masih mempertahankan cara lama dan marah bila ada usulan perubahan dan kritik. Memelihara 'in box thinking' hanya memikirkan unit masing-masing. Ujungnya adalah kematian.
Kreativitas mulai dibunuh di periode pertumbuhan dan kematangan. Di periode penurunan orang sudah malas kreatif. Yang masih berakal kreatif pasti sudah keluar dari organisasi itu.
Solusinya, organisasi yang baik akan terus-menerus menjaga spirit seolah sedang berada pada periode kelahiran. Walau sudah unggul tetap cemas, tetap cari inovasi, tetap waspada.
Merasa sudah nomor satu akan membunuh kreativitas.
3. Berhenti Kreatif
Setiap orang itu kreatif. Keputusan untuk kreatif atau tidak, ada di diri kita. Jadi, tidak perlu menyalahkan pola pendidikan Indonesia. Tidak usah repot mencari kambing hitam. Kalau kita nggak kreatif, itu adalah salah kita sendiri. Kita berhak memilih mau larut dalam rutinitas, mau mengikuti siklus bebal dari organisasi, mau terpengaruh pendidikan, atau tidak. Itu keputusan kita.
Jadi tetapkan dalam diri Anda bahwa Anda mau kreatif. Berlatih berpikir nyeleneh, melihat dari sisi yang berbeda.
O iya, sepertinya masih banyak penyebab lain. Tapi malas ah... nyari sasaran lain. Mending ngurus diri sendiri. Saya mau kreatif. Itu saja. Selamat kreatif. (dhw)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H