Pertanyaannya, kenapa Bandjela Paliudju sampai harus digoyang oleh dua kali kerusuhan pada dua kali masa jabatannya? Adakah kepentingan modal raksasa yang akan diuntungkan dengan goyangnya atau jatuhnya Bandjela Paliudju? Di tengah konflik tersebut, Jusuf Kalla yang waktu itu menjabat Wakil Presiden menjadi penengah. Dengan kata lain, Jusuf Kalla menjadi gawang dari raksasa asing dan kepentingan PLTA Bukaka di Poso untuk negosiasi dengan Bandjela Paliudju.
Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan 2 penawaran pada Bandjela Paliudju : Dijatuhkan atau Fasilitasi Kepentingan Industri. Bandjela Paliudju saat itu terdesak oleh adanya konflik agama yang parah di Poso. Tak hanya sekali, tapi dalam dua masa jabatannya sebagai Gubernur Sulteng. Apabila memilih dijatuhkan, Bandjela Paliudju akan disandera sebagai otak di belakang konflik Poso I dan II. Landasannya sederhana, dua kali konflik Poso pada masa jabatan Bandjela Paliudju sebagai Gubernur Sulteng.
Apabila dalam setiap konflik besar ada kepentingan modal raksasa, maka perdamaiannya pun tak lain transaksi dagang dan politik. ‘Perdamaian Aceh’ dan ‘Perdamaian Poso’ bukanlah sebuah islah sebagaimana dalam konflik mikro. ‘Perdamaian Aceh’ dan ‘Perdamaian Poso’ adalah konflik makro yang melibatkan kepentingan modal raksasa para asing. Maka ‘Perdamaian Aceh’ dan ‘Perdamaian Poso’ yang diklaim Jusuf Kalla tak lain hanyalah sebuah transaksi jual beli aset RI dengan pihak raksasa asing.
Pertanyaannya, jika Jusuf Kalla memiliki kemampuan dan relasi asing sebesar itu, apakah benar ada asing yang mengintervensi PDIP? Apa benar Asing yang mengintervensi PDIP dan Megawati agar memasukkan kembali nama Jusuf Kalla dalam daftar cawapres Jokowi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H