Mohon tunggu...
Doni Pratama
Doni Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa.

Menulis untuk meninggalkan jejak

Selanjutnya

Tutup

Politik

Melacak Jejak Sekularisasi dalam Tradisi Islam: Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah

24 Agustus 2023   12:42 Diperbarui: 24 Agustus 2023   12:57 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu belakangan ini, nama Ibn Taimiyah kerap kali muncul dalam berbagai pembahasan dalam tulisan maupun diskusi terbuka. Namun dalam konteks tersebut, Ibn Taimiyah lebih dikenal sebagai pemikir dengan basis wacana teologis. Tulisan ini tidak bermaksud mengerdilkan pemikiran atau ajaran pihak mana pun, tulisan ini murni dibuat untuk menggali pemikiran Ibn Taimiyah, tapi bukan dari sisi teologis melainkan soal pemikiran politik Islam. Penulis berharap agar tulisan ini dapat menambah wawasan atau sudut pandang baru mengenai pemikiran politik dalam tradisi Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Mona Hassan bahwa merebaknya wacana tentang terorisme yang dikaitkan dengan Islam, hal itu sejalan dengan tertariknya banyak pihak untuk kemudian menggali sendiri dan mempelajari gagasan politik tokoh Islam, salah satunya Ibn Taimiyah.

Lahir dengan nama Taqiyuddin Ahmad bin Syihabudin Abdul Halim bin Ali bin Taimiyah al-Harrani, seorang Ibn Taimiyah lahir di kota Harran pada 661 H. Ayahnya merupakan seorang ulama bermazhab Hambali. Secara singkat, bisa dikatakan bahwa Ibn Taimiyah tumbuh di lingkungan keluarga yang berpendidikan. Selanjutnya sebagai pijakan awal, penting rasanya untuk diketahui bahwa Ibn Taimiyah memiliki pendekatan pemahaman Islam yang tanpa kompromi menolak otoritas selain Al-Qur'an dan Sunah. Hal tersebut yang membuat Ibn Taimiyah percaya bahwa negara yang dibangun dengan landasan prinsip-prinsip Islam yang benar dapat menjadi alat untuk mewujudkan keadilan sosial. Ibn Taimiyah diketahui sangat geram terhadap ulama yang terlibat korupsi dalam pusaran kekuasaan pemerintahan yang tidak adil.

Atas dasar itu, agaknya kita bisa menerka bahwa idealnya Ibn Taimiyah mengilhami campur tangan agama (Islam) dalam urusan politik negara. Namun realitanya yang terjadi adalah Ibn Taimiyah justru menginisiasi gagasan sekularisasi politik dengan menolak campur tangan agama dalam urusan politik. Bisa kita katakan bahwa Ibn Taimiyah menghendaki adanya pluralisme dalam kehidupan di dunia Islam. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana kemudian negara yang dibangun dengan landasan prinsip-prinsip Islam yang benar, dapat dijalankan dengan gagasan sekularisasi dengan menolak campur tangan agama dalam urusan politik? Mari kita uraikan bersama bagaimana konsep sekularisasi politik Ibn Taimiyah dan apa yang jadi tujuan Ibn Taimiyah dengan gagasan tersebut.

Konsep Sekularisasi Politik Ibn Taimiyah

Sebelum berbicara lebih jauh mengenai gagasan sekularisasi politik yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah, ada baiknya kita runtutkan pembahasan dengan memahami apa itu sekularisasi. Menurut Jose Casanova teori sekularisasi setidaknya memiliki tiga arti yang berbeda. Pertama, sekularisasi yang mengacu kepada penurunan kepercayaan dan praktik keagamaan. Kedua, sekularisasi dapat diartikan sebagai privatisasi agama, yaitu kondisi dimana agama dianggap sebagai urusan pribadi yang tidak terlalu berpengaruh dalam ranah publik. Ketiga, sekularisasi juga dapat ditafsirkan sebagai pemisahan agama dari domain sekuler seperti negara. Arti ketiga yang dikemukakan Casanova terasa lebih relevan untuk era dimana agama semakin berkembang. Karena dalam definisi tersebut, sekularisasi tidak mengecilkan atau bahkan menghilangkan kepercayaan terhadap agama. Kiranya teori sekularisasi dari Casanova tersebut bisa dijadikan pintu pertama untuk kemudian masuk kepada jejak sekularisasi politik Ibn Taimiyah.

Berikut adalah konsep sekularisasi politik Ibn Taimiyah: 

1. Negara bukan urusan keimanan

Argumen Ibn Taimiyah ini sejatinya merupakan kritik tajam terhadap doktrin Syi'ah. Doktrin tersebut mengemukakan bahwa, penegakkan imamah adalah sebuah kewajiban masyarakat muslim. Syi'ah juga meyakini bahwa imamah adalah salah satu bagian dari rukun iman. Ibn Taimiyah tidak sepakat dengan doktrin tersebut dan mengajukan argumen tantangan. Pertama, keberadaan negara itu memang penting tapi tidak lantas membuat hal tersebut menjadi bagian inti dari keimanan. Sepenting apa pun imamah, tanpanya keimanan seseorang juga tidak lantas menjadi tidak sempurna. Kedua, Ibn Taimiyah juga meyakini bahwa iman kepada Allah dan Rasul itu jauh lebih penting daripada imamah. Kapan pun dan dimana pun, keimanan seseorang adalah diukur atas dasar berimannya dia kepada Allah dan Rasul, bukan kepada imamah. Ketiga, tidak pernah ada penjelasan tentang imamah dalam Al-Qur'an dan sunnah.

2. Muhammad itu Nabi (dan) bukan imam

Dalam argumen ini, Ibn Taimiyah dianggap cukup kontroversial. Kecenderungannya adalah mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang nabi utusan Allah dan bukan sebagai pemimpin politik. Hal itu didasari atas pemahamannya bahwa imamah muncul pasca wafatnya nabi. Lebih lanjut Ibn Taimiyah menegaskan bahwa Nabi  berbeda dengan imam. Nabi atau Rasul harus dipatuhi dengan alasan patuh terhadap utusan Allah. Nabi Muhammad sebagai nabi pun harus dipatuhi sepanjang masa, sedangkan imam atau raja hanya dipatuhi ketika ia berkuasa karena tidak memperoleh keistimewaan khusus seperti nabi.

3. Syariah adalah urusan ummah, bukan imamah

Argumen pendukung dari Ibn Taimiyah setidaknya ada dua. Pertama, setelah wafatnya Nabi Muhammad, karena tidak ada nabi maka tugas kenabian diemban dan menjadi tanggung jawab ummah. Menurut Ibn Taimiyah, pasca wafatnya nabi tidak ada seorang pun yang maksum sehingga Syariah bukan menjadi urusan imam, melainkan urusan ummah. Kedua, menurut Ibn Taimiyah, ummah sama sekali tidak akan mengubah syari'ah. Jika kemudian ada kekeliruan diantara ummah, maka ummah yang lain akan meluruskan dan menunjukkan letak kekeliruan. Argumen tersebut dilandasi oleh perkataan Nabi Muhammad bahwa ummah Muhammad tidak akan pernah sepakat dengan kesesatan.

4. Kepemimpinan politik yang lepas dari dimensi agama

Dalam pandangan ini Ibn Taimiyah mengemukakan pendapatnya mengenai formulasi ahlu al-syaukah sebagai yang bertanggungjawab dalam diangkatnya seorang pemimpin. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ahlu al-syaukah adalah sekelompok orang yang memiliki pengaruh dan setia terhadap pemimpin yang diangkat. Ahlu al-syaukah tidak hanya mencakup pada ulama saja, tetapi bisa semua orang tanpa terkecuali dengan syarat memiliki kharisma dan otoritas dalam kalangan masyarakat. Selanjutnya Ibn Taimiyah juga menyatakan pendapatnya yang cukup terkenal, yaitu "lebih baik dipimpin oleh pemimpin kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin muslim yang dzalim".

Dalam pembukaan di atas kita telah mengetahui bahwa Ibn Taimiyah percaya negara yang dibangun dengan landasan prinsip-prinsip Islam yang benar dapat menjadi alat untuk mewujudkan keadilan sosial. Bahkan Ibn Taimiyah diketahui sangat geram terhadap ulama yang terlibat korupsi dalam pusaran kekuasaan pemerintahan yang tidak adil. Ini yang kemudian memantik Ibn Taimiyah untuk lebih mengutamakan pemimpin yang berpengaruh pada terciptanya keadilan sosial, alih-alih mempersoalkan keimanannya. 

Pandangan Ibn Taimiyah tentang pengutamaan pemimpin yang dapat menciptakan keadilan sosial dibanding keimanan, merupakan syarat negara dengan tegaknya syariat dan prinsip-prinsip Islam. Tetapi tegaknya prinsip Islam dimaksudkan Ibn Taimiyah untuk mencapai tujuan utama yaitu keadilan yang universal. Itu yang kemudian kita bisa amati bahwa prinsip Islam yang dijalankan dengan baik, menurut Ibn Taimiyah berjalan seiringan dengan terciptanya keadilan sosial.

Setelah menguraikan bagaimana konsep sekularisasi politik Ibn Taimiyah, kita telah sampai pada suatu pintu terakhir, apakah sekularisasi tidak berbahaya bagi umat Islam. Dalam hal ini, Nurcholish Madjid mengemukakan bahwa sekularisasi adalah proses penduniawian sehingga mengantarkan kita untuk mengakui bahwa ilmu pengetahuan memiliki wewenang dalam penerapan kehidupan dunia, termasuk soal politik. Argumen tersebut juga dimaksudkan agar kita lebih objektif dalam memandang masalah duniawi dan dapat mencapai apa yang dicita-citakan Ibn Taimiyah, negara dengan keadilan sosial.

Oleh karena itu, kita mesti memahami bahwa sekularisasi politik yang ditemukan dalam pemikiran Ibn Taimiyah bukan semata ingin meminggirkan peran agama sama sekali. Tetapi lebih mengutamakan penilaian objektif bagi kita untuk urusan dunia dengan memisahkan agama dari hal sekuler seperti negara. Tujuan utama dari sekularisasi politik tersebut adalah demi keadilan sosial yang akhirnya dapat mensejahterakan umat Islam. Sebagaimana telah disampaikan, kiranya Ibn Taimiyah dengan pemikirannya tetap menyerukan persatuan umat Islam dan kesejahteraan baginya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun