Argumen pendukung dari Ibn Taimiyah setidaknya ada dua. Pertama, setelah wafatnya Nabi Muhammad, karena tidak ada nabi maka tugas kenabian diemban dan menjadi tanggung jawab ummah. Menurut Ibn Taimiyah, pasca wafatnya nabi tidak ada seorang pun yang maksum sehingga Syariah bukan menjadi urusan imam, melainkan urusan ummah. Kedua, menurut Ibn Taimiyah, ummah sama sekali tidak akan mengubah syari'ah. Jika kemudian ada kekeliruan diantara ummah, maka ummah yang lain akan meluruskan dan menunjukkan letak kekeliruan. Argumen tersebut dilandasi oleh perkataan Nabi Muhammad bahwa ummah Muhammad tidak akan pernah sepakat dengan kesesatan.
4. Kepemimpinan politik yang lepas dari dimensi agama
Dalam pandangan ini Ibn Taimiyah mengemukakan pendapatnya mengenai formulasi ahlu al-syaukah sebagai yang bertanggungjawab dalam diangkatnya seorang pemimpin. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ahlu al-syaukah adalah sekelompok orang yang memiliki pengaruh dan setia terhadap pemimpin yang diangkat. Ahlu al-syaukah tidak hanya mencakup pada ulama saja, tetapi bisa semua orang tanpa terkecuali dengan syarat memiliki kharisma dan otoritas dalam kalangan masyarakat. Selanjutnya Ibn Taimiyah juga menyatakan pendapatnya yang cukup terkenal, yaitu "lebih baik dipimpin oleh pemimpin kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin muslim yang dzalim".
Dalam pembukaan di atas kita telah mengetahui bahwa Ibn Taimiyah percaya negara yang dibangun dengan landasan prinsip-prinsip Islam yang benar dapat menjadi alat untuk mewujudkan keadilan sosial. Bahkan Ibn Taimiyah diketahui sangat geram terhadap ulama yang terlibat korupsi dalam pusaran kekuasaan pemerintahan yang tidak adil. Ini yang kemudian memantik Ibn Taimiyah untuk lebih mengutamakan pemimpin yang berpengaruh pada terciptanya keadilan sosial, alih-alih mempersoalkan keimanannya.Â
Pandangan Ibn Taimiyah tentang pengutamaan pemimpin yang dapat menciptakan keadilan sosial dibanding keimanan, merupakan syarat negara dengan tegaknya syariat dan prinsip-prinsip Islam. Tetapi tegaknya prinsip Islam dimaksudkan Ibn Taimiyah untuk mencapai tujuan utama yaitu keadilan yang universal. Itu yang kemudian kita bisa amati bahwa prinsip Islam yang dijalankan dengan baik, menurut Ibn Taimiyah berjalan seiringan dengan terciptanya keadilan sosial.
Setelah menguraikan bagaimana konsep sekularisasi politik Ibn Taimiyah, kita telah sampai pada suatu pintu terakhir, apakah sekularisasi tidak berbahaya bagi umat Islam. Dalam hal ini, Nurcholish Madjid mengemukakan bahwa sekularisasi adalah proses penduniawian sehingga mengantarkan kita untuk mengakui bahwa ilmu pengetahuan memiliki wewenang dalam penerapan kehidupan dunia, termasuk soal politik. Argumen tersebut juga dimaksudkan agar kita lebih objektif dalam memandang masalah duniawi dan dapat mencapai apa yang dicita-citakan Ibn Taimiyah, negara dengan keadilan sosial.
Oleh karena itu, kita mesti memahami bahwa sekularisasi politik yang ditemukan dalam pemikiran Ibn Taimiyah bukan semata ingin meminggirkan peran agama sama sekali. Tetapi lebih mengutamakan penilaian objektif bagi kita untuk urusan dunia dengan memisahkan agama dari hal sekuler seperti negara. Tujuan utama dari sekularisasi politik tersebut adalah demi keadilan sosial yang akhirnya dapat mensejahterakan umat Islam. Sebagaimana telah disampaikan, kiranya Ibn Taimiyah dengan pemikirannya tetap menyerukan persatuan umat Islam dan kesejahteraan baginya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H