Mohon tunggu...
Doni Kurnianto
Doni Kurnianto Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah Ibtidaiyyah

seorang fakir ilmu yang tertarik dalam bidang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pendidikan dalam Keluarga (Sebuah Renungan untuk Para Orang Tua)

31 Mei 2024   22:20 Diperbarui: 31 Mei 2024   23:11 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Segitiga Pagar Satu Titik/dokpri

Pendidikan Keluarga

(sebuah renungan untuk para orang tua)

Doni Kurnianto, Mahasiswa MPAI UNISMA

       Pendidikan merupakan kebutuhan bagi setiap insan untuk dapat menjalani kehidupan. Pendidikan seyogyanya menjadi perantara untuk menyokong manusia dalam mengenali dirinya dan mengembangkan potensinya. Adapun pemeran penting dalam meningkatkan pendidikan tidak hanya seorang guru.

       Saat perkuliahan di UNISMA berlangsung saya dan teman-teman MPAI berdiskusi terkait pendidikan. Saat itu kami mendapati bahwa pendidikan tak hanya  dibebankan kepada seorang guru. Karena yang bertanggung jawab terhadap pendidikan adalah orang tua/keluarga, guru, masyarakat, serta diri sendiri. Saya menyebutnya segitiga pagar satu titik.

 

       Setiap sisi memiliki pilarnya masing-masing, pilar itu akan menopang pagar pelindung seseorang yang mendapat pendidikan dari hal-hal eksternal yang merusak dirinya. Pilar pilar itu dibangun oleh keluarga, guru, dan masyarakat, sedangkan yang diri sendiri tak hanya berdiam seperti siput yang masuk ke dalam cangkang. Akan tetapi ia juga berusaha memproteksi dirinya dengan menjaga kestabilan antar pilar.

        Perlu diketahui bahwasanya faktor yang memengaruhi pendidikan itu ada dua, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dari diri orang yang mendapat pendidikan sedangkan faktor eksternal yaitu dari orang yang memberikan pendidikan. Munir (2018:34-37) menyebutkan secara spesifik siapa saja yang bertanggung jawab dalam pendidikan; di antaranya yaitu orang tua, guru, dan masyarakat (lingkungan).

       Choiru Ummatin, dkk. (:46) menyebutnya sebagai tripusat pendidikan dengan merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Mahmud Yunus dan Ki Hajar Dewantoro, bahwa lingkungan pendidikan dapat dikategorikan dalam tiga bagian yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Ketiganya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan memiliki keterkaitan antara satu dan yang lainnya dalam proses pendidikan islam.

       Orang tua atau keluarga adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pendidikan anaknya. Terlepas dari segala kekurangan yang dimiliki orang tua atau keluarga, mereka tetap bertanggung jawab penuh terhadap anaknya.  Sebagai mana Rasulullah ﷺ bersabda :

كُلُّ مَولُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِدَانِهِ أو يُنَصِرَانِهِ أو يُمَجِسَانِهِ

“setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka tergantung orang tuanya yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani, atau Majusi”

       Dari hadits tersebut kita memahami bahwasanya pembentukan kepribadian anak di mulai dari orang tuanya. Maka orang tua adalah orang yang berperan penting dalam pendidikan anak. Karena pendidikan yang diberikan orang tua akan memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan anak.

       Namun kebanyakan orang tua beranggapan bahwasanya pendidikan anaknya murni ditanggung sekolah. Sehingga yang terjadi saat ini adalah orang tua menyerahkan anak sepenuhnya kepada sekolah. Mungkin jika dianalogikan sekolah adalah tempat penitipan anak, sehingga orang tua yang telah menyerahkan anaknya kepada sekolah merasa kewajibannya dalam mendidik anak telah terpenuhi. Terlebih lagi jika sekolahnya adalah sekolah yang menerapkan belajar full day, orang tua akan lebih merasa terlepas kewajiban mendidiknya.

       Pendidikan yang diberikan orang tua, mulai dari buaian hingga anak mencapai aqil baligh merupakan pendidikan yang utama. Bahkan KH. Abid Marzuqi menyebutkan (dalam perkuliahan di STAI Attaqwa) bahwasanya masa pendidikan orang tua kepada anaknya dimulai dari masa kandungan. Karena anak akan merasakan segala yang dirasakan oleh orang tuanya, khususnya ibu saat dalam kandungan. Sehingga apa yang dilakukan dan di rasakan sang ibu akan berdampak kepada anaknya setelah ia dilahirkan. Tanggung jawab itu bahkan ditegaskan oleh Allah ta’ala melalui firmannya:

يَا أيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا قُوا أنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُم نَارًا

“wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At-Tahrim:6)

       Ayat ini menegaskan jika seseorang memiliki tanggung jawab untuk mendidik keluarganya terutama anaknya. Lebih luas lagi sebagai seorang muslim kita memiliki kewajiban moral untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat di sekitar kita sebagai bentuk amar ma’ruf nahi munkar. 

       Kembali kepada topik utama dari segitiga pagar satu titik terdapat tiga pilar yang saling menghubungkan, antara orang tua/keluarga, guru, dan masyarakat. Pilar-pilar ini saling bersinergi untuk memantapkan proteksi kepada sang anak yang mendapat pendidikan. Ketika salah satu dari ketiga pilar ini runtuh maka runtuhlah pendidikannya.

       Akan tetapi selain dari ketiga pilar yang saling bersinergi, sang anak pun memiliki peran penting dalam pendidikannya sendiri. Maka sebagus apapun sinergi antara orang tua/keluarga, guru, dan masyarakat jika sang anak telah memutuskan untuk mereset pendidikan yang telah diterimanya maka siapa yang dapat mencegahnya?. Karena sejatinya setiap manusia diberi kebebasan dalam berkehendak, tentu saja tidak luput dari konsekuensi atas apa yang dia perbuat.

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىهَا

“demi jiwa yang telah ditinggikan, maka (Allah) mengilhamkan kepadanya jalan keburukan dan ketaqwaan”

       Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwasanya Allah menerangkan kepada jiwa-jiwa manusia jalan kefasikan dan jalan ketaqwaan, kemudian memberinya petunjuk kepadanya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah untuknya. Sedangkan petunjuk yang Allah berikan bisa melalui ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an), melalui perantara hambanya yang lain, atau langsung melalui kesadaran orang yang diberikan petunjuk tersebut.

        Namun perlu diketahui bahwasanya pendidikan anak sebelum aqil baligh akan berporos pada orang tua/keluarganya. Sesuai seperti apa yang disabdakan Rasulullah ﷺ yang sebelumnya telah kita bahas. Orang tua yang membangun pondasi bagi pendidikan anaknya, sehingga pendidikan anak sangat bergantung pada orang tuanya.

       Raghib as-Sirjani menyebutkan (tt:128) di antara hak anak yang harus dipenuhi adalah memenuhi pendidikan dan pengajaran yang baik, terlebih lagi urusan-urusan agama yang sangat penting. Termasuk dalam hal pemeliharaan emosional, Islam mengajarkan agar memberikan perlakuan kepada anak dengan cara yang baik dan penuh kasih sayang, bermain dan bersikap penuh kelembutan. Sebagaimana diriwayatkan ketika Rasulullah ﷺ mencium Husain bin Ali, sementara ketika itu di sisi beliau ada sahabat Aqra’ bin Habis. Aqra mengatakan “Aku mempunyai sepuluh anak tapi sekali pun aku belum pernah menciumnya.” Lantas beliau ﷺ memandang kepadanya seraya berkata “siapa yang tidak pernah memberikan kasih sayang, dia tidak akan dikasihi” (HR al-Bukhari).

       Islam memandang begitu pentingnya memenuhi hak pendidikan anak, sehingga sudah sepatutnya orang tua tidak hanya menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada orang lain. Begitu pentingnya bahkan hingga Rasulullah ﷺ memberitahukan bahwa orang tua yang berhasil memberikan hak pendidikan kepada anaknya dengan ganjaran di surga bersamanya. Sebagaimana sabdanya ﷺ, “siapa yang mementingkan pendidikan dua anak perempuan sampai mencapai dewasa, dia dan aku (Rasulullah) kelak didatangkan hari Kiamat. Seperti jarak antara kedua jari tangan.” (HR. An-Nasai)

       Adapun jika anak tidak mendapatkan hak pendidikannya dari orang tua/keluarganya, maka pendidikan yang diterimanya dari yang lainnya tidak akan maksimal. Karenanya banyak anak yang baligh namun belum aqil saat ini karena kurangnya kesadaran orang tua untuk memberikan hak pendidikan kepada anaknya.

       Sehingga banyak anak yang meruntuhkan segitiga pagar yang telah dibangun karena ia merasa pendidikan yang telah ia terima tidak diperlukan olehnya, namun ketika ia telah mencapai keadaan aqil ia akan merasa bahwasanya pendidikan yang dahulu telah diterimanya begitu penting untuk dirinya.

       Menurut Chairu Ummatin (2021:47) lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama yang membentuk watak dan karakter manusia (anak). Sebagai lembaga pendidikan pertama, dasar-dasar kepribadian dan pola pikir anak akan dibentuk dalam lingkungan keluarga.

        Taufiq dan Rafiqoh menegaskan (2022:16) apabila di dalam sebuah keluarga selalu menerapkan tata krama, maka anak akan menjadi seseorang yang mengenal tata krama baik di manapun dia berada, begitu pun sebaliknya.  

       Karena itu mari kita mulai pendidikan anak-anak kita dari lingkungan keluarga, untuk membangun pondasi yang kokoh. Menjadikan kepribadian anak yang lebih baik dengan memberikan hak-haknya dan membimbingnya menjadi insan yang berakal dan berakhlak mulia.

Sumber:

al-Qur’an dan Tafsir Ibnu Katsir (tafsir Qur’an Surah asy-Syams : 7-8),

 https://play.google.com/store/apps/details?id=com.pro.line.quran&hl=id&gl=US  

Chairu Ummatin,__dkk. 2021, “Pengantar Pendidikan”, Pustaka Learning Center, Malang.

Munir Yusuf, 2018, “Pengantar Ilmu Pendidikan” IAIN Palopo.

Raghib as-Sirjani, tt, “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia”, Pustaka al-Kautsar.

Taufiq Abdillah Syukur, Siti Rafiqoh, 2022, “Pengantar Ilmu Pendidikan”, Patju Kreasi, Jakarta.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun