Mohon tunggu...
Doni Arief
Doni Arief Mohon Tunggu... Dosen - Faqir Ilmu

Pencari dan penikmat kebenaran paripurna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memahami Makna Idul Adha di Tengah Pandemi

19 Juli 2021   18:16 Diperbarui: 19 Juli 2021   18:33 1837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hitungan hari umat Islam di seluruh penjuru dunia akan merayakan hari raya terbesar setelah 'Idul Fitri, yaitu 'Idul Adha yang masih dilaksanakan di tengah badai pandemi Covid-19. 

'Idul Adha memiliki sejarah yang panjang dalam membentuk substansi keimanan dan kepasrahan menerima syariat (hukum agama) melalui keteladanan sosok inspiratif berikut kisahnya yang diceritakan di dalam Alquran. 

Walaupun sosok inspiratif dan teladan tersebut disinggung secara implisit dalam tradisi agama-agama samawi (baca: Agama yang diturunkan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala dari langit dan diberikan panduan berupa kitab suci), tetapi nilainya terasa khas dan sangat eksplisit di dalam ajaran Islam.

Sebelum kita menggali makna yang terkandung di dalam 'Idul Adha, maka kita harus memahami pengertiannya terlebih dahulu. Secara linguistik 'Idul Adha tersusun dari dua kata, yaitu 'Idul artinya kembali dan Adha artinya binatang yang disembelih pada seremonial ibadah pada tanggal 10 Zulhijjah, sedangkan secara sosiologis, pengertian 'Idul Adha mengarah kepada tradisi atau hari raya yang dilaksanakan umat Islam, mulai dari ibadah sampai mengorbankan binatang ternak. 

Di samping itu, 'Idul Adha juga dikenal dengan istilah 'Idul Nahr atau 'Idul Qurban. Sedangkan bagi umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah haji, tepat pada 'Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10 Zulhijjah mereka melakukan serangkaian ibadah yang berbeda dengan umat Islam lainnya, mulai dari bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah, mengorbankan binatang ternak dan melaksanakan tawaf.

   Islam sebagai tatanan dan pedoman hidup secara holistik dan universal, memberikan peluang kepada kita untuk mengintegrasikan kecerdasan yang dimiliki dalam mengeluarkan hukum kontemporer yang luwes sehingga mampu menghadapi tantangan dan pergeseran jaman. 

Dalam konteks ini, kita akan melihat hubungan 'Idul Adha atau 'Idul Qurban sebagai solusi yang dapat menstimulasi daya juang (immunitas) kita di tengah pandemi yang sedang terjadi. Tentunya, pandemi berpeluang menjadikan kita sebagai korban bukan Qurban, karena Qurban justru mampu menjadi solusi di tengah stagnannya (kebuntuan) penanganan pandemi. 

Di dalam Qurban, kita selalu melibatkan nilai-nilai ilahiah (ketuhanan) dalam berbagai tindakan praktis yang sarat dengan nilai-nilai kebaikan yang bisa diterima oleh semua kalangan.

Secara linguistik, Qurban berasal dari kata "qaraba" artinya dekat, kemudian ditambahkan "an" dibelakangnya membawa makna kedekatan yang sangat dekat dengan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, sehingga dapat diartikan 'Idul Qurban itu bukan hanya sekedar mengorbankan binatang ternak, tetapi secara implisit di dalamnya terkandung makna ketaatan, kepatuhan dan keikhlasan dalam menjalankan perintah Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, sehingga eksistensi manusia difungsikan untuk memiliki rasa kepedulian sosial kepada orang lain, khususnya yang tidak mampu.

Qurban memiliki sejarah panjang yang telah diceritakan Alquran kepada kita, mulai dari kisah Habil dan Qabil sampai kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Alloh Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan kepada kedua anak Nabi Adam, yaitu Habil dan Qabil, untuk mempersembahkan hasil panen kebunnya, tetapi hanya persembahan Habil yang diterima Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, karena dia melakukannya dengan ketaatan, kepatuhan dan keikhlasan sehingga pengejawantahannya terlihat dari caranya dalam memilih hasil panen yang terbaik.

Cerita pengorbanan yang berikutnya adalah terjadi di antara Nabi Ibrahim dengan anaknya Nabi Ismail, di mana Alloh Subhanahu Wa Ta'ala benar-benar menguji keimanan Nabi Ibrahim dengan ujian yang sangat berat, yaitu harus mengorbankan anaknya sendiri. 

Beratnya pengorbanan Nabi Ibrahim tersebut, menjadi raison d'etre (alasan) Beliau dikenal sebagai kekasih Alloh Subhanahu Wa Ta'ala atau Khalilulloh. Mungkin, manusia biasa akan menolak walaupun perintah tersebut datangnya dari Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, untuk mengorbankan atau menyembelih anak kandungnya sendiri dengan alasan ketaatan. 

Apalagi kehadiran dari seorang anak tersebut ditunggu-tunggu dalam waktu yang sangat lama. Berbagai asumsi tersebut tidak berlaku bagi Nabi Ibrahim karena dia menyadari substansi dari perintah menyembelih anaknya sendiri merupakan ujian keimanan baginya. 

Bahkan, apabila perintah Alloh Subhanahu Wa Ta'ala memang harus memaksa Nabi Ibrahim mengorbankan anaknya sendiri tanpa harus mengetahui hikmah di balik peristiwa yang akan terjadi, maka Nabi Ibrahim dengan segenap jiwa dan raganya pasti akan melakukannya. 

Di antara ikhtiar atau kerja keras, menyerah di tengah jalan, berkecamuknya perasaan, kesulitan yang menghimpit hati seolah-olah tidak ada jalan keluar lagi dan hanya tersedia ruang tawakkal, maka disitulah turun solusi dari Alloh Subhanahu Wa Ta'ala untuk memudahkan semuanya. 

Akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi dikorbankan karena Beliau digantikan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala dengan seekor kibas (kambing yang memiliki bulu yang panjang dan tebal), yang manandai bermulanya syariat pelaksanaan Qurban.

Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini merupakan takdir yang telah ditetapkan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala, kita tidak bisa menghindar dan melarikan diri dari kenyataan takdir tersebut. 

Absolutisme tidak mungkin dikalahkan relativisme, namun Alloh Subhanahu Wa Ta'ala tidak membelenggu manusia dalam konservatisme yang rigid, karena manusia diberikan ruang determinisme untuk memacu akselerasi kecerdasannya karena manusia menanggung beban sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi (Q.S. Al-Baqarah: 30). 

Alloh Subhanahu Wa Ta'ala memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih iman atau kekafiran (Q.S. Al-Kahfi: 29), karena hanya manusia yang dijadikan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala dengan instrumen kecerdasan dan perasaan yang paling lengkap dibandingkan yang lainnya. Walaupun, manusia bebas dalam memilih tetapi tetap yang menjadi kebenaran adalah pilihan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala (Q.S. Al-Baqarah: 216).

Menerima segala ketentuan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala adalah cara terbaik dalam memaknai kehidupan. Menerima bukan hanya sekedar berdiam diri tetapi harus dibarengi dengan kerja keras atau ikhtiar, karena Alloh Subhanahu Wa Ta'ala tidak akan menggeser kemuliaan hidup apabila kita hanya berpangku tangan (Q.S. Ar-Ra'ad: 11). 

Ketika kerja keras sudah dilakukan dengan maksimal maka setelahnya bertawakkal dan membiarkan takdir Alloh Subhanahu Wa Ta'ala bekerja buat kita (Q.S. Ali Imran: 159), karena apapun hasilnya Alloh Subhanahu Wa Ta'ala tidak akan membebani kita dengan sesuatu kecuali kita sanggup untuk menanggulanginya (Q.S. Al-Baqarah: 286).

Nabi Ibrahim sadar bahwa dia tidak mungkin menolak takdir yang telah ditetapkan Alloh swt kepadanya, maka yang dia lakukan adalah menerimanya, tidak menyalahkan keadaan dan bersiap menghadapi realitas. Karena menyalahkan keadaan yang telah terjadi hanya membuang energi yang terkadang membuat kita tenggelam dalam kenangan masa lalu dan tidak siap melakukan evaluasi untuk masa depan. 

Habil dan Nabi Ibrahim sadar bahwa pengorbanan yang mereka lakukan bukanlah hal yang menguntungkan dan menyenangkan buat mereka, tetapi karena ditopang oleh keimanan, berpikir positip dan selalu berprasangka baik, maka mereka tetap optimis dalam menjalankan tanggung jawab kehidupannya.

Situasi pandemi memang semakin memburuk di Indonesia, kasus harian positip Covid-19 menembus angka 50.000 dan angka kematian hampir 1000 dalam hitungan statistik data on table, bisa jadi realitas di lapangan menunjukkan angka yang lebih tinggi lagi. 

Sampai tulisan ini dirilis, belum ada tanda-tanda data dalam grafik semakin melandai, oleh karena itu dibutuhkan langkah strategis yang harus didukung oleh semua komponen negara. Miris rasanya, ketika negara-negara lain mengumumkan bahwa mereka telah menang melawan Covid-19 dan mendeklarasikan untuk melepaskan masker, sebaliknya negara kita masih dihantui dengan masalah angka kematian yang masih tinggi diperparah lagi dengan pertikaian politik, keterpurukan ekonomi dan keretakan sosial. 

Tidak lantas, kita menuding dengan sinis bahwa semua ini terjadi karena takdir, tentunya kita harus melakukan instrospeksi diri (muhasabah) berskala nasional, karena yang telah terjadi merupakan serangkaian perbuatan atau ulah tangan kita sendiri yang seolah-olah menantang hukum alam (sunatulloh), karena Alloh Alloh Subhanahu Wa Ta'ala menegaskan bahwa tidak ada satupun kerusakan di alam semesta ini kecuali manusia telah mengeksploitasi dan mengekspansinya (Q.S. Ar-Rum: 41).

Memang Alloh Subhanahu Wa Ta'ala menjadikan ujian dan musibah untuk menguji kesabaran dan mengangkat kemuliaan kita dihadapan-Nya (Q.S. Al-Baqarah: 155). Bukan tanpa dasar, Alloh Subhanahu Wa Ta'ala memilih Habil dan Nabi Ibrahim sebagai teladan dalam berqurban. Alloh Subhanahu Wa Ta'ala memilih mereka karena mereka sanggup menjadi pemimpin yang adil minimal bagi diri mereka sendiri dan keluarganya. 

Mereka memiliki keimanan, kapasitas kecerdasan yang mumpuni, riset yang jelas dan open minded untuk menerima kebenaran sehingga mereka lulus dari ujian. Dari sini, kita bisa melihat bahwa keadilan, kecerdasan dan kebijaksanaan seorang pemimpin negara akan berpengaruh signifikan terhadap kemampuan suatu negara untuk keluar dari masalah. Ketika kebijakan negara bisa diterima oleh semua komponen masyarakat maka herd immunity nasional akan terbentuk dengan sendirinya.

Sekarang kita harus bersiap menghadapi realitas, badai sudah berubah menjadi terjangan tsunami, kalau tidak segera tercipta sinergi yang baik di antara pemangku, pembuat dan pelaksana kebijakan negara maka kita semua akan disapu bersih oleh pandemi Covid-19.

 Berhenti saling menyalahkan, karena memang sudah tidak ada lagi manfaatnya. Yang kita butuhkan sekarang adalah taubat nasional untuk "membujuk" Alloh Subhanahu Wa Ta'ala agar mengangkat musibah yang terjadi, sebagaimana Habil dan Nabi Ibrahim selalu berdoa dan mempersembahkan yang terbaik kepada Alloh swt, apapun situasinya. 

Keyakinan bertransformasi menjadi ketakwaan yang mengakibatkan turunnya rejeki atau jalan keluar dari arah yang tidak terduga-duga (Q.S. At-Talaq: 3). Memperbanyak zikir di rumah atau di mana saja dengan harapan gemuruh suara yang penuh harapan mampu mengetuk dan menggetarkan pintu-pintu langit. 

Rumah ibadah tetap dibuka menyambut datangnya para jamaah untuk beribadah di tempat yang termasuk zona hijau sambil tetap menerapkan prokes dengan ketat. Apabila harus dilakukan lockdown (karantina wilayah) maka Pemerintah harus siap dan cekatan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan pendidikan warga negaranya. 

Memang langkah terbaik menekan penyebaran pandemi yang terjadi akibat interaksi adalah mengurangi mobilitas. Hal ini juga pernah diisyaratkan Nabi Muhammad saw di dalam hadisnya yang menyatakan bahwa apabila terjadi wabah penyakit di suatu daerah maka orang yang berada di dalamnya tidak boleh keluar sedangkan orang yang berada di luar tidak boleh masuk ke dalamnya.

Selain berdoa maka harus dibarengi dengan ikhtiar dalam bidang kesehatan, dengan cara memberikan edukasi yang benar tentang bahaya Covid-19 kepada masyarakat, dan mencegah diri agar tidak menyebarkan berbagai berita yang tidak benar (hoax) tentang Covid-19 di berbagai media sosial. 

Menambah fasilitas kesehatan dan memberikan insentif yang logis kepada para tenaga kesehatan karena mereka garda terdepan dalam mengantisipasi Covid-19. Sebagaimana tujuan utama dalam Qurban adalah memberikan daging ternak kepada orang yang tidak mampu. 

Nilai sosial yang bisa ditransformasikan dari tujuan Qurban di masa pandemi, maka sudah selayaknya orang yang mampu secara finansial harus membantu saudara atau tetangganya yang kurang mampu. 

Tentunya, hal ini akan menjadi ladang pahala bagi orang-orang kaya yang ringan tangannya untuk bersedekah di tengah pandemi, sehingga dia mampu menambah deposito pahalanya, karena setiap satu sedekah yang dilakukannya maka Alloh Subhanahu Wa Ta'ala akan menggantikannya dengan 700 kebaikan (Q.S. Al-Baqarah: 261).

Ketika semuanya sudah siap berqurban di tengah musibah yang terjadi, maka semua instrumen kebaikan akan melebur menjadi satu kekuatan untuk bangkit dan keluar dari musibah serta tumbuh menjadi entitas yang lebih baik dari sebelumnya. 

Keimanan, keikhlasan, ketulusan, keadilan dan kerja keras mampu berkontraksi dan bersinergi, maka Alloh Subhanahu Wa Ta'ala akan menyelamatkan kita dari pandemi ini, karena Alloh Subhanahu Wa Ta'ala telah menjanjikan di balik satu kesulitan maka Dia akan menyediakan dua jalan kemudahan bagi kita (Q.S. Al-Insyiroh: 5 -- 6).

InsyaAlloh, Indonesia akan bangkit kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun