Ledakan antrean terendus lagi. Hidung alergi. Sesak, tak mampu bernafas. Ambil tissue. Ambil parfum. Semprot sana. Semprot sini. Buru-buru pergi. Lari. Secepat laju mobil Ferrari. Gocek kanan. Gocek kiri. Senggol pengantre. Â Â Â
"Bantuan sembako turun sebentar lagi!", katanya. Dada menyelip dada. Lengan menelusuk ke dalam. Kaki menjejal tanah hingga keram. Bau badan. Bau rambut kusam. "Prettt.." bau suara pantat tak berpendidikan! Mata saling bertatapan. Pikiran saling tunjuk tak beralasan. Tapi, mulut hanya diam. Muka semakin muram. Semua pasrah. Semua berserah. Nasi sudah menjadi bubur. Kentut sudah terlanjur membaur. Lubang hidung dibesarkan. Mental dipersiapkan. Bau kentut dihirup dalam-dalam. Bersama-sama. Supaya nafas kembali lega.
"Bantuan sembako sudah mulai dibagikan!" Mulut berucap, gas mulai tancap. Kembali riuh. Rusuh. Badan bertemu badan. Â Lengan mengikat lengan. Siapa lebih cepat, dia yang dapat. Edan! Tangan dijulurkan. Kantong-kantong dipersiapkan. Satu orang, satu kantong. Loh, kok membawa dua? Sudah, diam saja! Untuk apa? Untuk menyimpan bantuan tambahan, siapa tahu mendapat dua. Orang lain geleng-geleng kepala. Saya tetap berlalu tak mengacuhkannya. Dunia sudah mulai gila. Mengaku satu, bawa dua. Mengaku dua, jangan-jangan menggondol tiga. Ah, lupakan saja! Yang penting saya dapat salah satunya. Tapi, dapat dua juga tidak apa-apa.
      Serangan datang! Sekumpulan orang menerobos dan menyerang. Harus tenang. Jangan ikut menyerang. Tapi, diam sama saja artinya dengan menantang. Lalu? Ikut menyerang saja? Ya! Tabuh genderang. Otot beradu tegang. Siapa kuat, dia menang. Menang berarti senang. Bawa makan. Bawa uang. Satu orang. Dua orang. Tiga orang. Sepuluh orang sudah saya taklukan. Saya memang jagoan. Hebat, bukan? Tapi waktu terus berkurang. Antrean juga semakin panjang. Harus tenang. Harus berpikir untuk menyerang.Â
Otak saya putar. Strategi saya tukar. Dengan strategi apa? Strategi orang lapar! Strategi orang lapar? Ya. Terus injak sana. Injak sini. Supaya posisi mengantre ada di depan lagi. Itu curang namanya! Biar saja. Lupakan tentang peraturan. Ketertiban cuma jadi penyebab kelaparan. Akhir-akhirnya malah tidak kebagian. Lebih baik curang dari pada tidak kebagian. Namanya juga persaingan. Ada menang, ada kalah. Asal jangan saya yang mengalah.
Antrean meledak-ledak. Udara semakin sesak. Nalar tidak lagi di otak. Sudah pindah ke usus perut yang tengah mencak-mencak. Padahal kantong cekak. Ambil tissue. Ambil parfum. Semprot sana. Semprot sini. Buru-buru merangsek. Masuk. Seperti tanduk hendak menyuruk. Suruk sana. Suruk sini. Suruk pengantre. Pantat menyelip pantat. Kepala pada mencuat. Mencari udara yang semakin tiada. Hilang entah kemana. Yang ada hanya bau badan.Â
Bau rambut kusam. "Brottt.." bau suara pantat tak berpendidikan! Lagi? Mata saling bertatapan. Pikiran saling tunjuk tak beralasan. Tapi, mulut hanya diam. Muka semakin muram. Semua pasrah. Semua berserah. Nasi sudah menjadi bubur. Kentut sudah terlanjur membaur. Padahal kentut bukan sembarang kentut. Bau kentut buat wajah berkerut. Mau bagaimana lagi? Memang. Tidak ada pilihan. Lubang hidung dibesarkan. Mental dipersiapkan. Bau kentut dihirup dalam-dalam. Bersama-sama. Supaya nafas kembali lega.
      "Bantuan sembako sudah mulai hampir habis!", katanya. Mulut berucap, emosi tambah kalap. Kembali riuh. Rusuh. Sikut beradu sikut.  Perut beradu perut. Sial, perut saya tertekan. Bikin tambah tidak tahan. Memangnya tahan apa? Tahan panggilan alam! Ini namanya keadaan tidak diharapkan. Bisa berbahaya. Lalu harus bagaimana? Ya ditahan, memangnya apa lagi? Saya tertekan. Padahal sembako belum di tangan. Keluarga juga keroncongan. Ini harus segera diselesaikan. Tak ada pilihan. Saya bertahan dengan keadaan. Menjejalkan kaki yang keram. Menelusupkan tangan diantara desakan badan.
      Satu orang. Dua orang. Tiga orang. Lima orang sudah saya singkirkan. Sekarang saya mutlak ada di depan. Tidak ada lagi penghalang, apa lagi penantang. Tinggal menjulurkan telapak tangan. Lalu menadah kantong dengan penuh pengharapan. Dan para panitia memberi sembako serta beberapa lembar uang di hadapan. Akhirnya para pengantre bisa saya taklukkan. Keriuhan ini bukan ancaman yang menyeramkan. Malah, tidak seseram hantu-hantu yang bergentayangan. Yang lebih seram itu sebenarnya ini, perut korban nasi basi. Sulit dikendali. Apa lagi diajak kompromi. Maklum, saya bukan orang berdasi, jadi tidak punya uang untuk membeli nasi.
      "Broott... Prooottt..." Ahhh.... Sial! Kenapa? Panggilan alamnya datang lagi? Ya, sudah tidak bisa saya tahan lagi! Manusia di sekeliling kembali menyalangkan mata sambil berspekulasi. Berusaha mencari-cari dari mana sumber suara dan bau aneh ini bersembunyi. Celaka. Ini bahaya namanya. Saya tidak bisa lagi berkutik dan mencari-cari alasan untuk menyelamatkan diri. Pasti sudah semakin dicurigai dan diawasi. Saya harus segera lari. Cari tempat sembunyi. Bermeditasi dan berkonsentrasi. Berkonsentrasi? Untuk apa? Ya untuk mengeluarkan hajat ini! Hajatnya sudah tidak bisa ditahan-tahan lagi ya? Cerewet! Iyaaa! Memangnya kenapa?
      Mata seolah jadi buta. Ratusan orang lenyap entah kemana. Mungkin karena mata tak memandang dengan nyata. Hanya terfokus pada sesuatu yang telah mengusik asa. Hajat ini begitu mendesak ingin keluar dan mencuat di sela-sela celana. Sudah hampir di ujung sepertinya. Gila! Di mana jalan keluar? Mana? Saya ingin segala urusan ini cepat kelar! Tidak ingin lagi kebablasan pantat ini terdengar.
      Saya berlari dengan telapak tangan di perut. Mengelus-elus bagian yang sudah tidak bisa lagi disebut. Mungkin karena banyaknya konsentrasi yang telah terenggut. Keringat membanjiri sekujur badan. Pikiran melayang ke atas awan. Pasrah, tak ada pilihan. "Brott.. Brott.. Tuuut... Prettt." Ratusan wajah mengubah lekukan bola matanya. Semakin melotot dan siap menelanjangi siapa saja yang ketahuan berbuat serupa. Saling tengok dan menatap satu dengan lainnya. Saling tunjuk dan curiga, tanpa referensi nyata. Hanya sebuah jastifikasi tidak berdasar yang biasa digunakan para penguasa. Lihat sana. Lihat sini. Asal jangan melihat saya saja. Bahaya. Saya bisa ketahuan nantinya.
      "Pantat tak berpendidikan milik siapa itu? Hah?" Seorang lelaki tua yang terselip di antara ratusan pengantre protes ke arah suara misterius itu. Tidak lama, semuanya menjadi latah dan ikut mengomel secara bertalu-talu, seolah protes dan cibirannya itu menjelaskan bahwa mereka bukan merupakan pelaku. Wajah saya memerah. Bingung dan tak punya kepastian untuk solusi jalan tengah. Ah, jangan diambil susah. Jangan diambil susah? Lalu bagaimana caranya? Gampang. Saya hanya perlu berusaha untuk ikut serta mencibir dan mencemooh pencipta suara tidak dikenal itu. Melebur dengan massa yang sudah begitu baur. Dasar Munafik! Biar saja! Ini sebuah trik cantik.  Tanpa munafik, urusan hanya akan menjadi semakin pelik. Betul? Saya mencemooh dan mengumpat suara itu, meski sebenarnya saya sendirilah yang seharusnya dibelenggu. Ah, biarlah.  Itu rahasia antara kita. Oke?
      Ini pilihan yang sulit dan membuat situasi semakin terjepit. Apakah saya harus menyelamatkan diri, atau berjuang demi kebaikan memecahkan permasalahan yang tak kunjung henti? Yang pasti, saya harus segera berlari. Ya, sebelum panggilan alam semakin menjadi-jadi. Kayuhan kaki dipercepat. Putaran watu kembali diperekat. Terus menyelip di antara kerumunan yang begitu lekat. Mencari pertolongan agar tidak menjatuhkan martabat si laki-laki hebat. Diriku.
      Saya berdiri di pinggiran jalan. Menunggu kendaraan umum lewat di tepian. Sayang, harapan tinggal harapan. Tidak ada satupun kendaraan mampir di hadapan. Angkot tidak ada. Bus tidak ada. Taksi juga tidak. Hanya ada delman. Ah, biarlah. Yang penting saya bisa segera terselamatkan. Tidak mencipta hal memalukan. Apa lagi masalah yang bukan-bukan.  Tangan dilambaikan dari kejauhan. Delman berhenti sesuai perkiraan. Saya segera melangkahkan kaki ke arah delman. Tiba-tiba, "Broot... Preettt.. Proott... Pruuttt."  Celaka!
      Badan belum di atas delman, tetapi suara pantat sudah mencipta kekhawatiran. Kepala celingukan, ke kiri dan ke kanan. Mudah-mudahan suara dan bau tadi tidak mengundang banyak perhatian. Jika tidak, jiwa saya yang akan jadi santapan para mata pencuriga yang sejak tadi memburu bunyi mencurigakan, seperti betul-betul kelaparan.  Kelaparan akan jawaban pertanyaan pelik tentang dari mana suara dan bau itu berasal. Tiba-tiba seseorang mencuat dari antrian belakang. "Jadi, anda pemilik pantat tak berpendidikan itu?" Gawat! Saya terpojok. Hanya pasrah dan tak mampu tuk melongok. Mati kutu!
      Tenang, saya harus tenang. Putar otak kencang. Cari taktik cemerlang. Sudah sekakmat, tapi masih mau cari taktik. Memangnya ada? Ada! Ya, saya dapat jurus pamungkas pertolongan. Hah? Masih ada? Dengan taktik apa? Taktik pengalihan! Ah, itu sih klise. Biar saja. Biar klise, tapi masih populer digunakan para penguasa, bukan? Saya tutup hidung dengan jari-jari tangan. Berpura-pura ikut menjadi korban. Sedikit sandiwara, agar tidak dianggap berlebihan. "Itu suara pantat kuda!" ucap saya seraya menunjuk delman yang dipaksa menjadi pelarian alasan. Saya terselematkan. Kemudian segera berlalu tanpa ada satu orang pun tahu bahwa itu adalah kebohongan. Dasar tukang kentut sialan!Â
Kota Serang, 29 April 2013 Â Pukul 11:36 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H