Saya berlari dengan telapak tangan di perut. Mengelus-elus bagian yang sudah tidak bisa lagi disebut. Mungkin karena banyaknya konsentrasi yang telah terenggut. Keringat membanjiri sekujur badan. Pikiran melayang ke atas awan. Pasrah, tak ada pilihan. "Brott.. Brott.. Tuuut... Prettt." Ratusan wajah mengubah lekukan bola matanya. Semakin melotot dan siap menelanjangi siapa saja yang ketahuan berbuat serupa. Saling tengok dan menatap satu dengan lainnya. Saling tunjuk dan curiga, tanpa referensi nyata. Hanya sebuah jastifikasi tidak berdasar yang biasa digunakan para penguasa. Lihat sana. Lihat sini. Asal jangan melihat saya saja. Bahaya. Saya bisa ketahuan nantinya.
      "Pantat tak berpendidikan milik siapa itu? Hah?" Seorang lelaki tua yang terselip di antara ratusan pengantre protes ke arah suara misterius itu. Tidak lama, semuanya menjadi latah dan ikut mengomel secara bertalu-talu, seolah protes dan cibirannya itu menjelaskan bahwa mereka bukan merupakan pelaku. Wajah saya memerah. Bingung dan tak punya kepastian untuk solusi jalan tengah. Ah, jangan diambil susah. Jangan diambil susah? Lalu bagaimana caranya? Gampang. Saya hanya perlu berusaha untuk ikut serta mencibir dan mencemooh pencipta suara tidak dikenal itu. Melebur dengan massa yang sudah begitu baur. Dasar Munafik! Biar saja! Ini sebuah trik cantik.  Tanpa munafik, urusan hanya akan menjadi semakin pelik. Betul? Saya mencemooh dan mengumpat suara itu, meski sebenarnya saya sendirilah yang seharusnya dibelenggu. Ah, biarlah.  Itu rahasia antara kita. Oke?
      Ini pilihan yang sulit dan membuat situasi semakin terjepit. Apakah saya harus menyelamatkan diri, atau berjuang demi kebaikan memecahkan permasalahan yang tak kunjung henti? Yang pasti, saya harus segera berlari. Ya, sebelum panggilan alam semakin menjadi-jadi. Kayuhan kaki dipercepat. Putaran watu kembali diperekat. Terus menyelip di antara kerumunan yang begitu lekat. Mencari pertolongan agar tidak menjatuhkan martabat si laki-laki hebat. Diriku.
      Saya berdiri di pinggiran jalan. Menunggu kendaraan umum lewat di tepian. Sayang, harapan tinggal harapan. Tidak ada satupun kendaraan mampir di hadapan. Angkot tidak ada. Bus tidak ada. Taksi juga tidak. Hanya ada delman. Ah, biarlah. Yang penting saya bisa segera terselamatkan. Tidak mencipta hal memalukan. Apa lagi masalah yang bukan-bukan.  Tangan dilambaikan dari kejauhan. Delman berhenti sesuai perkiraan. Saya segera melangkahkan kaki ke arah delman. Tiba-tiba, "Broot... Preettt.. Proott... Pruuttt."  Celaka!
      Badan belum di atas delman, tetapi suara pantat sudah mencipta kekhawatiran. Kepala celingukan, ke kiri dan ke kanan. Mudah-mudahan suara dan bau tadi tidak mengundang banyak perhatian. Jika tidak, jiwa saya yang akan jadi santapan para mata pencuriga yang sejak tadi memburu bunyi mencurigakan, seperti betul-betul kelaparan.  Kelaparan akan jawaban pertanyaan pelik tentang dari mana suara dan bau itu berasal. Tiba-tiba seseorang mencuat dari antrian belakang. "Jadi, anda pemilik pantat tak berpendidikan itu?" Gawat! Saya terpojok. Hanya pasrah dan tak mampu tuk melongok. Mati kutu!
      Tenang, saya harus tenang. Putar otak kencang. Cari taktik cemerlang. Sudah sekakmat, tapi masih mau cari taktik. Memangnya ada? Ada! Ya, saya dapat jurus pamungkas pertolongan. Hah? Masih ada? Dengan taktik apa? Taktik pengalihan! Ah, itu sih klise. Biar saja. Biar klise, tapi masih populer digunakan para penguasa, bukan? Saya tutup hidung dengan jari-jari tangan. Berpura-pura ikut menjadi korban. Sedikit sandiwara, agar tidak dianggap berlebihan. "Itu suara pantat kuda!" ucap saya seraya menunjuk delman yang dipaksa menjadi pelarian alasan. Saya terselematkan. Kemudian segera berlalu tanpa ada satu orang pun tahu bahwa itu adalah kebohongan. Dasar tukang kentut sialan!Â
Kota Serang, 29 April 2013 Â Pukul 11:36 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H