Mohon tunggu...
Doni Swadarma
Doni Swadarma Mohon Tunggu... -

Menghabiskan masa kecil sampai SMA-nya di seputaran terminal Blok M, setelah menyelesaikan pendidikannya di Teknik Sipil UI, mendedikasikan diri di dunia pendidikan sambil mengamati banyak hal yang dituangkan dalam bentuk tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Momon

28 Oktober 2015   21:41 Diperbarui: 28 Oktober 2015   21:41 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sewaktu SD setiap sore saya sholat Ashar bersama pak ustad. Usai sholat pak ustad mengajarkan kami mengaji, melagukan Al Qur’an, sholawatan, memimpin tahlilan, juga menabuh qosidahan. Di antara teman-teman saya ada seorang anak keturunan Cina non muslim yang kadang datang juga. Namanya Raymond, dipanggilnya Momon. Saya tak tahu pasti apa agamanya, yang pasti ada banyak patung berbentuk pria gendut botak yang sedang tertawa di dalam rumahnya.

Saat saya mengaji, Momon bermain di luar, bersama teman yang sudah selesai. Saat pak Ustad ceramah agama, Momon kadang ikut mendengarkan juga, malah ikut tertawa-tawa karena pak ustad senang bercerita sambil bercanda. Bila ada teman yang selametan usai khataman Al Qur’an, semua anak pasti senang lantaran banyak makanan. Kita langsung berebutan karena takut tidak kebagian. Namun pak ustad tidak pernah melupakan Momon, bagian Momon selalu disisihkan. Kalau sudah begini si Momon pasti kegirangan. Kita semua pun pulang dengan hati yang riang.

Itulah, masa kecil yang damai di perkampungan Betawi tempo dulu yang kental dengan tradisi NU. Tradisi NU itu pulalah yang mengisi hari-hariku saat beribadah. Hal tersebut tak membuat ayahku marah walau beliau adalah salah satu pengurus Muhammadiyah. Ayah juga membiarkan saat di SMA saya asyik masyuk dengan buku-buku bacaan pergerakan Islam terutama tentang perjuangan Ikhwanul Muslimin yang menggetarkan. Pemikiran, semangat dan sepak terjang Hasan Al Banna, Sayyid Qutb, Fathi Yakan dan para ikhwan lainnya sungguh meresap ke dalam benak pikiran, seakan saya sudah siap berangkat Jihad ke Afghan. Menanggapi hal ini ayah hanya senyum-senyum cengengesan.

Di SMA waktu saya banyak diisi dengan kesibukan sebagai aktifitas kerohanian Islam, hal yang sama dilakukan oleh teman-teman sebayaku di sekolah dan kampus negeri yang sedang marak saat itu. Kelas 1 SMA saya sudah akrab dengan istilah jihad, syahid, thogut, qital, ghozwul fikri, Yahudi, Nasrani. Bacaan saya Al Quran saku yang bisa dimasukan ke dalam saku baju, hiburan saya nasyid; lagu tanpa iringan musik yang berlirik semangat jihad dan tauhid. Sangat kontras dengan saudara kandung saya lainnya yang mengenyam pendidikan justru di sekolah non muslim seperti Xaverius dan Tarakanita. Namun bagi Ayah semua sah-sah saja.

Mungkin sikap egaliter didikan ayah itulah yang membuat saya tidak memiliki dinding penghalang saat mulai bersinggungan dengan pergerakan Islam lainnya, baik secara fisik maupun wacana. Saya suka dengan kajian sunnah ala salafi, beberapa kali ikutan khuruj bersama dengan Jamaah Tabligh atau mengikuti diskusi khilafah bersama HTI. Bahkan sekarang ini saya tinggal di Cibubur, berdekatan dengan Radio/TV Rasil; yang kerap dituding syiah. Saya sendiri heran darimana asal tudingan tersebut, sebab sejauh ini tak ada tanda-tanda syiah di sana.

Bagi saya kajian sunnah seperti yang dilakukan oleh teman-teman salafi itu penting agar kita tidak salah dalam beribadah. Pun demikian dengan khuruj karena saat itulah kita serasa tak ada jarak dengan siapapun juga. Larut dalam kehidupan yang relijius nan sederhana. Begitu pula dengan HTI, bagi saya justru mereka adalah orang-orang yang nasionalis, karena berusaha memperbaiki kondisi karut marut negara ini walau dengan caranya sendiri. Bukannya ahli makar yang menginginkan negara ini bubar, seperti yang sering dituduhkan oleh para pakar.

Oleh karenanya sungguh disayangkan bila umat di negeri ini seperti terkotak, bahkan terkesan menolak saat diajak untuk kompak. Masing-masing merasa paling benar sendiri, silang sengkarut bagai benang kusut. Padahal bila kondisi seperti ini terus terjadi maka yang rugi bukanlah umat Islam saja, tapi rakyat Indonesia seluruhnya. Karena umat Islam adalah mayoritas di negeri ini bila umatnya tidak akur maka negeri ini pun tidak bisa makmur.

Ada yang bilang bahwa kondisi Indonesia seperti ini hanyalah dampak dari dinamikasi global. Adalah seorang pemikir asal Amerika keturunan Jepang bernama Francis Fukuyama (1989) yang mengatakan bahwa sejak sosialisme berakhir yang ditandai dengan berakhirnya perang dingin, maka dunia memasuki Babak Akhir Sejarah (The End of History), dan dimulailah apa yang disebut dengan The New World Order (Tata Dunia Baru). Sehingga tinggalah kapitalisme dan liberalisme melenggang sendirian dengan Amerika sebagai pimpinan dan negara-negara Barat sebagai ajudan. Pemaksaan terhadap kapitalis dan liberalis itulah yang akhirnya menimbulkan ketegangan bahkan perlawanan. Terutama dari kalangan Islam yang memang sejak runtuhnya khilafah menjadi umat yang sekarat dan kerap menjadi korban aneksasi Barat namun tetap memberi perlawanan walau sambil tiarap.

Banyaknya model perjuangan umat Islam tersebut ternyata di kemudian hari mendatangkan masalah internal di kalangan Islam sendiri. Umat Islam merespon dengan cara yang berbeda-beda. Di Indonesia saja ada yang menolak demokrasi tapi ingin Islam menjadi penguasa negeri, ada yang memilih Islam kultural yang menolak Islam formulasi sambil teriak NKRI harga mati, ada juga yang ingin Islam berkuasa tapi tetap moderat dan demokratis, namun banyak pula yang radikal main hantam seperti ISIS.
Samuel P. Huntington (1996) bahkan lebih tegas lagi mengatakan dalam tesisnya: Clash of Civilizations (benturan peradaban). Menurutnya usai perang dingin maka yang tersisa adalah delapan peradaban dunia yang saling berhadap-hadapan untuk membangun kekuasaan, yaitu : Islam, Barat, Rusia, Jepang, Amerika Latin, Hindu, Afrika, dan Cina. Huntington meyakini yang paling keras dalam melawan hegemoni Amerika di masa depan adalah Islam dan Cina. Dan perlawanan tersebut akan bersifat antagonistik serta penuh konflik antara Islam di satu pihak dan Barat di pihak lainnya. Hal tersebut dikarenakan politik bukanlah berdasarkan kepentingan pragmatis semata, namun juga merupakan identitas budaya, etnik, agama, bahasa, maupun golongan. Dengan tesisnya ini seolah Huntington mengamini benturan antara Islam dengan Barat bakal lebih marak lagi.

Sepertinya Huntington benar dengan tesisnya tersebut. Saat negara-negara Islam diacak-acak Amerika dan sekutunya seperti yang terjadi di Afganistan dan Irak. Namun tesis tersebut seperti gagap tatkala diminta menjelaskan apa yang dimaksud dengan “Islam” atau “Barat”, lantaran keduanya mengandung keragaman dengan berbagai irisan. Fenomena gelombang migrasi muslim ke negara Eropa adalah contohnya. Tesis Huntington juga tak bisa menjawab saat ISIS membabibuta membunuhi siapapun lawannya termasuk mengiris sesama muslim di sungai Tigris.

Orang lebih meyakini pendapat William Pfaff , kolumnis terkenal diharian International Herald Tribune dan Los Angeles Times Syndicate, yang mengatakan “karena gugurnya beberapa paradigma politik internasional (komunis dan sosialis), bukan berarti yang bertahan akan saling berhadapan (Islam dan Barat)”.

Menarik menyimak pendapat Goenawan Mohammad saat dialog kebudayaan di Jakarta. Ia mengatakan : “Postmodernisme mengajarkan kita untuk menghormati heterogenitas, perbedaan, kelainan (otherness), dan sikap ragu terhadap konsensus. Perbenturan atau konflik yang akan dihadapi dunia di masa datang tetap bertumpu pada masalah ekonomi. Jika ada pandangan yang meramalkan kecenderungan konflik masa depan itu sebagai konflik peradaban, sesungguhnya itu hanyalah kesan luarnya. Sebab persoalan mendasar yang menjadi faktor utama penyebab konflik tersebut adalah soal-soal yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi”.

Motif ekonomi itu pasti, namun Islam sebagai ideologi tidak akan pernah mati di tengah pusaran perebutan kekuasaan. Namun bila memperjuangkannya harus saling membunuh sesama saudara muslim sendiri, maka saya lebih memilih berteman dengan Momon. Teman masa kecil yang saya tak tahu apa agamanya, hanya ada patung berbentuk pria gendut botak yang sedang tertawa di dalam rumahnya…..

 

28 Oktober 2015

Doni Swadarma

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun